Selasa, 01 Maret 2011

MERDEKA


Merdeka
Sandiwara adaptasi cerpen
Karya : Putu Wijaya
Adaptasi : Filesky


Tokoh :
1. AMAT
2. AMAT MERAH
3. AMAT PUTIH
4. BU AMAT
5. AMI
6. TETANGGA
7. PEMIMPIN MERAH
8. PEMIMPIN BIRU
9. PEMIMPIN KUNING
10. PEMIMPIN HIJAU
11. ORANG-ORANG





MUSIK PEMBUKA TERDENGAR LAGU “TANAH AIRKU” (cip.Ibu Sud), DISAMBUNG PIDATO PROKLAMASI BUNG KARNO.
TERLIHAT ANAK-ANAK KECIL SEDANG ASYIK BERMAIN, PEMULUNG MENCARI BARANG RONGSOKAN, ORANG PEMINTA-MINTA, KEKERASAN DI JALANAN, TRANSAKSI GELAP OKNUM KORUPTOR, BERBAGAI KEKERASAN DAN PENINDASAN TERJADI.
PAK AMAT TERMENUNG DEPAN RUMAHNYA, IA MERENUNGKAN TENTANG ARTI SEBUAH KEMERDEKAAN.
AMAT :
Apakah kemerdekaan sebuah kemenangan. Apakah kemenangan sebuah kebahagiaan. Kalau ya, mengapa dalam kemerdekaan dan kemenangan, masih ada derita? Makin marak kemiskinan? Bahkan bencana , permusuhan, kekacauan, kerancuan kebenaran, ketidakadilan dan kejatuhan moral kian edhan-edhanan?
AMAT MERAH :
Terkenang pada peringatan hari kemerdekaan yang lalu. Memang sudah usang karena sudah 64 kali diulang-ulang dengan jawaban yang juga bulukan. Merdeka berarti tidak lagi disuapi, dilindungi, dijaga dan diasuh oleh negara penjajah.
AMAT PUTIH :
Merdeka berarti harus cari makan dan bertahan hidup di atas kaki sendiri. Merdeka sama dengan tidak lagi ditindas, tidak diinjak-injak, tidak lagi dikadali oleh sang penjajah di bawah ancaman senjata, tetapi atas kemauan kita sendiri.
AMAT :
Dengan kemauan sendiri? Kemauan siapa? Siapa yang masih mau diinjak, ditindas, dikadali hari gini?
AMAT MERAH :
Ya kalau sudah merdeka, berarti seluruh perbuatan adalah atas kehendak diri sendiri. Atas pilihan yang bersangkutan. Tidak karena diperintah. Bukan akibat tekanan. Bahkan mana mungkin akibat disuruh-suruh oleh orang lain. Pastilah itu kehendak sendiri yang sudah bebas bersuara, lepas bertindak, yang sudah merdeka dalam merasa dan berpikir.
AMAT :
Jadi kemiskinan. Keterpurukan. Perpecahan. Gontok-gontokan dan kemerosotan moral yang terjadi di sekitar kita sekarang itu, adalah kehendak sendiri? Gila!
AMAT PUTIH :
Habis kehendak siapa lagi, kan kamu sudah merdeka?!
AMAT :
Mana mungkin! Tidak ada orang yang ingin membuat dirinya miskin, terpuruk apalagi bejat moral. Itu semua pemutar-balikkan fakta!
AMAT MERAH :
Terserah, kamu sudah merdeka jadi bebas untuk menuduh dan mencari kambing hitam! Kamu juga boleh seenak perut kamu mengeluarkan apa saja dari mulutmu yang merdeka. Tapi ingat, yang tidak benar walau pun keluar dari mulut yang merdeka tetap saja salah.
(AMAT MERAH DAN PUTIH KELUAR PANGGUNG).
AMAT:
(PAK AMAT MARAH DENGAN RENUNGANNYA SENDIRI)
Lalu apakah artinya kemerdekaan? Apa arti kemerdekaan? Apa artinya merdeka???!
(TIBA-TIBA ISTRINYA MUNCUL, DENGAN MEMBAWA KAIN YANG IA TENUN).
BU AMAT:
Kok ngomong sendiri, Pak?
AMAT:
Bukan ngomong sendiri, aku sedang berpikir.
BU AMAT:
Mikirin apa? Mau kawin lagi?
AMAT:
(TERTAWA) hahahaha… Boro-boro kawin lagi, yang satu saja nggak habis.
BU AMAT:
O jadi kalau kawin itu berarti menghabisi?!
AMAT:
Bukan begitu Bu!
BU AMAT:
Ya memang begitu! Kawin itu berarti menghabisi masa edan-edanan yang Bapak lakukan waktu masih jomblo. Kawin itu berarti menghabisi “bertindak tanpa memakai perhitungan”, bertindak tanpa memikirkan perasaan orang lain, bertindak yang merusak, seperti yang Bapak lakukan waktu masih bujangan. Kawin itu memang menghabisi apa yang tidak perlu!
(AMI KELUAR MEMBAWA BUKU, BERJALAN SAMBIL MEMBACA)
AMAT:
(TERTEGUN).
Agustus sudah berlalu..Satu dua kali hujan mulai turun. Bendera-bendera merah-putih yang berjajar di sepanjang jalan sudah lenyap. Memang ada juga beberapa pedagang yang masih saja ngotot memasang. Umumnya penduduk sudah menyimpan kembali benderanya untuk dikeluarkan lagi nanti tahun depan. Tetapi bendera merah-putih raksasa yang berkibar di rumah orang kaya itu masih belum diturunkan.


AMAT :
Ini bukan tidak ada maksudnya, Mengapa dulu dia segan memasang, tetapi sekarang justru bandel membiarkan bendera kepanasan dan kehujanan. Apakah kamu tidak perlu ke sana lagi dan bertanya, Ami?”
AMI:
Saya sudah kapok, Pak. Kalau Bapak mau silakan saja tapi jangan bawa-bawa saya, bapak kan yang ditokohkan dan menjadi panutan di desa ini, bapak saja yang bertanya kepada orang kaya itu. Kami anak-anak muda tak tertarik lagi dengan sandiwara over actingnya itu.
AMAT:
Apa maksudmu dengan over acting?
AMI:
Mantan wakil rakyat itu dengan segala macam caranya sedang berusaha memikat perhatian kita. Tak usah diladeni. Masih banyak orang yang lebih pintar dari dia yang perlu kita perhatikan.
AMAT:
Siapa?
AMI:
Ya kami…
AMAT:
Kami siapa?
AMI:
Ami misalnya…
AMAT:
Karena kamu anak muda?
AMI:
Jelas!
AMAT:
Tapi apa kamu punya uang 5 milyar?
AMI:
(terbelalak).
PAK AMAT SEGERA BERPAKAIAN MENGENAKAN SEPATU DAN BAJU BATIK
AMI:
(Ami terpaksa bertanya).
Bapak mau ngapain?
AMAT:
Ke rumah orang kaya itu, Menanyakan mengapa dia tidak menurunkan bendera?
Tidak, lebih tepatnya. Menagih janjinya untuk menyumbang 5 milyar. Kalau gagal, baru menanyakan mengapa dia tidak menyimpan bendera padahal sudah tahu sekarang kita hampir memasuki musim hujan.
AMI:
Kenapa Bapak jadi ngurus sumbangan orang?
AMAT:
Sebab Bapak tidak mau dia menjadi terkenal hanya karena mengancam akan menyumbang 5 milyar. Kalau mau nyumbang, nyumbang saja seperak juga akan diterima baik. Jangan menyebar kabar sabun menyumbang 5 milyar tapi tidak ada prakteknya. Itu kan membuat semua orang mimpi.
AMI:
(Ami masih terus saja mendesak). Tapi pak…???
AMAT:
(pak Amat menutup percakapan). Nanti saja kalau Bapak sudah pulang dari rumah orang kaya itu, kita lanjutkan debatnya, oke anak muda?
AMI:
(geleng-geleng kepala)
PAK AMAT BERGEGAS BERANGKAT.
AMI:
(BICARA KEPADA IBUNYA). Orang kaya itu pasti tidak akan sudi membuka dompetnya dengan selembar rupiah pun. Apalagi 5 milyar. Orang kaya tidak akan mungkin berduit kalau tidak pelit. Lihat saja nanti hasilnya pasti nol!
BU AMAT:
Biar saja Ami, daripada bapakmu ngerecokin di rumah, biar dia ke sana, siapa tahu beneran.
AMI:
Ibu jangan begitu. Meskipun sudah pensiun, tetapi Bapak itu masih sama bergunanya dengan orang lain, asal jangan memposisikan dirinya sudah tua.
BU AMAT:
Tapi Bapakmu kan memang sudah tua.

AMI:
Memang, tapi keberadaan orang tua sama pentingnya dengan anak muda.
BU AMAT :
Ya itu dia. Makanya Bapakmu sekarang ke sana mengusut sumbangan 5 milyar itu. Kalau kejadian kan kita semua untung. Sekolah berdiri dan kita dapat 10 persen.
AMI:
(terkejut). Sepuluh persen apa?
BU AMAT:
Lho kamu tidak tahu toh? Siapa saja yang berhasil mengumpulkan uang sumbangan untuk melanjutkan pembangunan gedung sekolah kita, dapat bagian 10 persen dari sumbangan itu.
AMI:
(tertegun) Andaikan benar, tak usah sepuluh, satu persen dari 5 milyar saja kehidupan keluarga Amat akan bersinar. (AMI MENDADAK BENGONG, BERHAYAL).
BU AMAT MASUK KE DALAM RUMAH
(LAMPU FADE OUT)
KETIKA PAK AMAT MASUK RUMAH, IA HERAN MELIHAT AMI TERGELETAK DI KURSI.

AMAT:
Bangun Ami, nanti kamu masuk angin.
AMI:
(TERKEJUT, TAPI KEMUDIAN LANGSUNG BERTANYA).
Bapak berhasil?
AMAT:
Ya.
AMI: (BERTERIAK) yessssssss!!!
AMAT:
Stttt jangan teriak sudah tengah malam ini.
AMI:
Jadi Bapak akan dapat sepuluh persen?
AMAT:
Ya.
AMI:
Sepuluh persen dari 5 milyar?
AMAT:
Tidak. Dia mengubah angkanya.
AMI:
Berapa. Sepuluh milyar?
AMAT:
Seratus ribu.
AMI:
Hhhaaaaaaaaaa… Berapa?
AMAT:
(lebih tegas) Seratus ribu!!!
AMI:
Lho kenapa?
AMAT:
Bapak bilang kepada dia baik-baik. Tidak usahlah menyumbang sebanyak itu. Malah nanti akan menimbulkan persoalan dan pertengkaran kita di sini. Di mana-mana duit biasanya membuat cekcok. Jadi Bapak bilang, daripada kawasan kita yang damai ini menjadi neraka yang penuh dengan saling curiga-mencurigai, lebih baik jangan membuat persoalan. Sumbang yang wajar saja, seratus ribu sudah cukup untuk memancing para warga lain menyumbang.
AMI:
(ternganga) Aduh, Bapak kenapa jadi bego begitu sih?
AMAT:
Karena Bapak tahu semua omongan 5 milyarnya itu hanya isapan jempol. Daripada dia terkenal karena hisapan jempolnya itu, kan lebih baik dipaksa bertindak yang konkrit saja dengan nyumbang seratus ribu. Itu untuk menutupi rasa malunya sudah keceplosan ngomong 5 milyar, sampai-sampai dia tidak berani lagi tinggal di rumah karena takut ditagih. Itu sebabnya selama ini dia menghilang bersama keluarganya, makanya benderanya tidak pernah diturunkan. Sekarang beres, dia sudah nyumbang seratus ribu, ini duitnya. Dan benderanya sudah diturunkan. Paham?

AMI:
(MENGGELENG KEPALA)
Tidak.
AMAT:
(terhenyak, Lalu menjatuhkan badannya ke kursi seperti nangka busuk)
Bapak juga tidak paham. Mengapa dia mau. Padahal Bapak hanya mengertak maksudku supaya dia malu dan langsung nyumbang 5 milyar!
(BU AMAT KELUAR SAMBIL TERSENYUM)
BU AMAT:
Sudah jangan dipikirkan lagi. Orang politik kan banyak yang begitu, obral janji sana sini untuk kepentingannya, namun giliran ditagih janjinya banyak yang tidak sesuai dengan mulutnya.
AMI:
Memang bangsat orang-orang pintar itu… politik digunakan untuk minterin rakyat, rakyat yang selalu dikorbankan. Indonesia Negara kaya akan sumber daya alamnya, tapi apa yang nyatanya terjadi, harga minyak tanah mahal karena langka, memang tanah Indonesia lebih kaya akan gas alam daripada minyaknya, tapi itu semua percuma, harga gas LPG juga tetap saja mahal, membuat oknum-oknum distributor melakukan manipulasi dengan mengurangi takaran isi gas dan menyuntikkannya ke tabung gas yang lain demi meraup keuntungan, akibatnya banyak tabung gas yang meledak karena banyak selang, regulator, dan tabung ilegal yang beredar tanpa standar kualitas . Semua ini permasalahan ini karena kelangkaan energi, Singkatnya Negara ini belum mampu memasok kebutuhan energi dalam negerinya sendiri. Karena langka maka harganya jadi mahal, alasannya mereka mengalami kerugian dalam proses produksi. Jelas saja harganya jadi mahal karena setelah menyedot hasil tambang, bahan mentah yang didapat sebagian besar malah di ekspor, alasannya karena kita belum mempunyai SDM dan teknologi yang memadai untuk mengelolanya sendiri, lalu setelah jadi energi siap pakai, kita impor lagi. Ini gila… kita membeli barang yang asalnya dari milik kita, ini hanya permainan orang-orang pinter saja, untuk kepentingan mereka.
(AMI NGAMBEK DAN MASUK KE RUMAH).
BU AMAT:
(menggeleng kepala karena Ami emosi)
Pak anakmu kok jadi pinter pidato ya???
AMAT:
(berlagak sok pahlawan) Itu kan karena aku yang mengajarinya berfikir kritis, Ami jadi lebih suka belajar dan nonton berita, dari pada nonton sinetron dan infotainment.
BU AMAT:
(tersenyum)
Pak cepat pasang bendera ini! Tadi di televisi presiden menghimbau untuk memasang bendera setengah tiang, untuk belasungkawa atas wafatnya tokoh bangsa.
(BU AMAT MENGULURKAN BENDERA MERAH-PUTIH YANG BARU DIBELINYA).
AMAT:
Lho, Ibu beli bendera lagi? Kan bendera yang kemaren masih ada?
ISTRI:
Yang kemarin Itu warnanya sudah belel!
AMAT:
Belel juga itu bendera kita. Bukan warnanya yang penting, tetapi artinya sebagai simbol!
ISTRI:
Sudah Bapak jangan ribut lagi. Pasang saja!
(PAK AMAT MEMPERHATIKAN BENDERA BARU ITU, LALU IA MENGHAMPIRI TIANG DI DEPAN RUMAH UNTUK MENGIBARKAN BENDERA).
(DATANG SEORANG TETANGGA MENGHAMPIRI).
TETANGGA:
Wah benderanya baru ya pak Amat…
kalau bendera lama tidak dipakai lagi, biar saya kibarkan di rumah, kalau boleh.
AMAT:
(PAK AMAT CUMA MENGGELENGKAN KEPALA)
TETANGGA:
Kan tidak dipakai?
AMAT:
Ya, memang. Yang lama tetap akan saya simpan dengan baik walau tidak dipakai.
TETANGGA:
Makanya kalau tidak dipakai, daripada nganggur biar saya kibarkan saja.
AMAT:
(MENOLAK TEGAS)
Bendera itu memang tidak dipasang, tetapi dia tetap dikibarkan di dalam rumah kami.
TETANGGA:
(TERTAWA)
Hahahaha… Masak mengibarkan bendera dalam rumah. Ada-ada saja!
AMAT:
(TERSENYUM NYINDIR)
Kalau ngaku cinta Indonesia, benderanya jangan minta, tapi beli sendiri!
TETANGGA:
Aahhh… bilang saja pelit!
(BERGEGAS PERGI)
AMAT:
(KEMBALI MEMASANG BENDERANYA, SAMBIL MERENUNGI KEJADIAN YANG LALU).
Mengenang yang kemarin, Sungguh aneh suasana perayaan hari kemerdekaan yang ke-64 yang telah berlalu, karena ditandai oleh bukan hanya kibaran sang saka. Berbagai umbul-umbul dengan kain warna-warni plus bendera-bendera partai berseliweran di mana-mana. Kadang di beberapa kawasan bahkan bendera-bendera partai nampak lebih seru berkibar.Saya ingin sekali mencabuti bendera-bendera itu, saya hanya ingin ada dua warna, merah dan putih. Minimal satu minggu sebelum dan sesudah peringatan hari proklamasi. Kalau bisa bahkan seharusnya sebulan penuh. Agustus harus dijadikan bulan berkibarnya hanya sang saka dwi warna. Bendera-bendera lain, seperti bendera-bendera negeri sahabat, mesti tahu diri, mundur dulu.
Mestinya kita semua lebih mengedepankan kepentingan bersama!
BU AMAT:
(berusaha meredam kemarahan suaminya).
Kita mesti sadar kepada situasi sekarang Pak, tak usah terlalu melebih-lebihkan semangat perjuangan Bapak di masa lalu itu. Sekarang masa orang lebih memperjuangkan kepentingan diri sendiri dan golongan. Kalau tidak hati-hati bisa-bisa kita digilas!

AMAT:
Memang, aku juga tidak sungguh-sungguh mau membersihkan jalan-jalan itu dari bendera partai. Karena walau pun kota diamuk oleh bendera-bendera partai menjadi lautan politik, tetapi semangat kebangsaan di dalam jiwaku tidak akan pernah padam. Bahkan justru tambah menggebu-gebu. Sekaranglah di saat orang sudah lupa pada kepentingan bersama, perasaan berkorbanku untuk kebersamaan semakin berkobar. Jadi aku justru berterimakasih pada bendera-bendera itu, karena membuat aku semakin cinta pada Tanah Air, sementara banyak orang kian bejat!
BU AMAT:
(TERSENYUM, SAMBIL MASUK KE DALAM RUMAH)
AMAT :
(MERENUNG)
Apa dengan mengibarkan bendera, seseorang menjadi merdeka.
Atau karena merdeka orang boleh mengibarkan benderanya?
(MUSIK DENGAN IRAMA TEGAS, SEIRING DENGAN LANGKAH ORANG BERBARIS, TERDENGAR RIUH ORANG-ORANG BERBARIS SAMBIL BERNYANYI).
DALAM RENUNGAN PAK AMAT MUNCUL ROMBONGAN ORANG-ORANG DARI BERBAGAI PARTAI, MEREKA MENGENAKAN BAJU DAN BENDERA YANG SAMA WARNANYA. PANGGUNG TAMPAK RAMAI DENGAN KIBARAN BENDERA YANG WARNA WARNI. SETELAH ORANG-ORANG ITU BERBARIS RAPI SESUAI KELOMPOK WARNANYA.
PEMIMPIN MERAH:
Kawan-kawan pecinta demokerasi, sekarang apa agenda kegiatan kita?

PEMIMPIN KUNING:
Alangkah baiknya jika langsung saja kita laksanakan upacara pengibaran bendera…. Setuju?

ORANG-ORANG:
(hanya diam saja)
PEMIMPIN KUNIG:
kok tidak mau bicara sih….(mengambil uang di dompetnya dan menyebarkan uang)
ORANG-ORANG:
(berebutan uang sambil teriak) setuju!!!
PEMIMPIN HIJAU:
Tepat!!! anda benar, segera saja kita kibarkan bendera… setuju???
ORANG-ORANG:
(hanya diam saja)
PEMIMPIN HIJAU:
kok tidak mau bicara juga….(mengambil uang di dompetnya dan menyebarkan uang)
ORANG-ORANG:
(berebutan uang sambil teriak) setuju!!!

PEMIMPIN BIRU:
Bagaimana bisa, disini hanya ada satu tiang bendera?
PEMIMPIN KUNING:
Alangkah bijak jika bendera kelompok kami yang mewakili sodara-sodara semua, karena kami kan senior, oke sepakat?!!!
(pemimpin kuning bergegas hendak memasangkan benderanya diatas sang dwi warna, sementara tiga pemimpin kelompok lain berdiskusi, menandakan ketidak setujuan atas keputusan pemimpin kuning).
PEMIMPIN BIRU:
(segera menolak) Tidak bisa!!! Kelompok kami adalah anggota yang terbanyak, harusnya bendera kami yang layak jadi wakil kalian!!!
PEMIMPIN HIJAU:
Saya tidak setuju, bendera kami yang seharusnya dikibarkan!!!
PEMIMPIN MERAH:
Bandera merah yang paling layak mewakili bendera yang lain!!!
SEMUA PEMIMPIN RIBUT KARENA MASALAH BENDERA,
SALAH SATU ORANG:
Stop stop stop….
PARA PEMIMPIN:
Ada apa???
SALAH SATU ORANG:
Jika pemimpinnya pada berkelahi, anak buahnya bagaimana?
PARA PEMIMPIN:
Hajar…!!!
ORANG-ORANG JUGA IKUT BERTENGKAR, SALING MAKI, SALING JOTOS, SALING TIKAM.SEMUANYA MENJADI KACAU.
AKHIRNYA TERDENGAR SUARA PELUIT YANG DIBUNYIKAN AMAT MERAH DAN AMAT PUTIH, ORANG-ORANGPUN LARI TERBIRIT-BIRIT BERHAMBURAN.

AMAT MERAH :
Mestinya kita semua lebih mengedepankan kepentingan bersama dari pada kepentingan diri sendiri dan golongan.
AMAT PUTIH:
Banyak orang menjadi bejat, semangat kebangsaannya telah hilang dan rasa cintanya pada tanah air telah luntur.
AMAT MERAH:
Mereka melupakan hakikat peringatan, dengan upacara yang dirayakan setahun sekali, sekarang peringatan yang sakral itu menjadi ajang kompetisi bendera .
AMAT PUTIH :
Ini adalah upacara. Di dalam upacara memang yang ada adalah pengulangan.
AMAT MERAH :
Pengulangan itulah yang membedakan upacara dengan peristiwa. Perayaan hari kemerdekaan ini bukan peristiwa tetapi upacara.
AMAT PUTIH :
Tegasnya pengulangan. Dengan mengulang, memang banyak yang sama. Namun hasilnya berbeda.
AMAT:
Kita jadi semakin dalam memahami.
AMAT PUTIH :
Memahami apa?
AMAT MERAH:
Memahami apakah kita benar sudah merdeka?
AMAT PUTIH :
Apakah kita sudah merdeka?
AMAT :
Kalau tidak merdeka, kita tidak akan boleh mengatakan betapa miskin, betapa tertindas, betapa terpuruk, betapa merosotnya moral kita.
Karena hanya orang yang benar-benar merdeka dan memiliki kebebasan,
baru bisa menyatakan apakah dirinya masih terjajah, tersiksa atau angkara.
Hanya orang yang merdeka yang mampu mengatakan bahwa dirinya belum merdeka.
(PAK AMAT MENAIKKAN SANG DWI WARNA MENJADI SETIANG PENUH)
Malam ini hanya ada sang dwi warna yang berkibar dihadapan kita, dari pendukung warna apapun kita, harusnya kita bersatu dan hanya satu bendera yang kita junjung setinggi-tingginya, marilah kita semua berdiri, dan bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Selesai.

SEBUAH SALAH PAHAM

NASKAH : TEATER I “SEBUAH SALAH PAHAM’’
KARYA : SAMUEL BECKETT
ALIHBAHASA :MAX ARIFIN


Di sudut sebuah jalan.Runtuhan bangunan.
A, buta, duduk di atas bangku dengklik, menggesek biola tuanya. Di sampingnya ada sebuah peti setengah terbuka dan di atas peti ini ada sejenis mangkok.
Dia berhenti menggesek biolanya, memandang ke kanan, mendengar.-

Pause.-

1.A. : Sedekahlah untuk orang tua melarat; sedekahlah untuk orang tua melarat. [Diam.Dia bermain,berhenti lagi, memandang ke kanan, mendengar. B masuk dari kanan di atas kursi roda. Dia berhenti. Tertegun].
Sedekahlah untuk orang tua melarat.
[Pause].-

2.B : Musik ! [Pause].Jadi sama sekali bukan impian.Akhirnya ! juga bukan angan-angan; mereka membisu dan aku membisu di depan mereka.[Dia maju,berhenti,memandang ke dalam mangkok,tanpa emosi].Orang malang!

[Pause].

Sekarang aku bisa kembali,karena misteri itu sudah terungkap .[dia kembali memandang kursi rodanya.Berhenti]. Atau, bagaimana kalau kita bergabung dan hidup bersama,sampai maut datang menjemput.[Pause]. Bagaimana pendapatmu tentang itu,Billy? Boleh aku memanggil kau Billy seperti nama anakku? [Pause].Kau ingin seorang teman, Billy?[Pause] Kau mau makanan kaleng, Billy?

3.A : Makanan dalam kaleng? Makanan apa itu?

4.B : Daging dalam kaleng,Billy; ya, daging dalam kaleng.Cukup untuk menjaga kesehatan badan dan jiwa sampai musim panas. [Pause]. Tidak? [Pause]. Juga ada beberapa buah kentang,Ya,cuma beberapa pon.[Pause] .Kau suka kentang,Billy?
[Pause] .Malah kita bisa membiarkan kentang-kentang itu bertunas kemudian kita menanamnya.Kita bisa mencobanya.[Pause] Aku memiliki tanahnya dan kau bisa menanamnya.[Pause].Tidak?

[Pause]

5.A. : Bagaimana pohon-pohon itu tumbuh?

6.B : Sulit mengatakannya.Seperti kau ketahui, sekarang ini musim dingin.

[Pause]
7.A : Sekarang ini siang atau malam?

8.B : Oh,…[memandang ke langit] sekarang siang, kalau kau mau.Tak ada matahari,tentunya, sebab kalau ada kau tentulah tidak bertanya. [Pause].Dapat kau mengerti apa maksudku? [Pause] Apakah kau masih memiliki kecerdasan tentang dirimu sendiri. Billy, apakah kau memiliki akal budi tentang dirimu ?

9.A : Kalau cahaya,bagaimana. Ada ?

10.B : Ya. [Memandang ke langit lagi]. Ya,cahaya. Tak ada kata yang tepat untuk itu. [Pause]. Boleh aku menjelaskannya padamu ? [Pause]. Boleh aku mencoba memberikan sebuah gagasan tentang cahaya ini ?

11.A : Bagiku, kadang-kadang bila aku menghabiskan waktuku di sini di waktu malam, itu berarti memainkan biola tua ini atau mendengar, mengawasi ada orang datang. Aku biasa merasakan bagaimana senja menjelang dan mempersiapkan diri. Aku menyisihkan biola dan mangkok dan berdiri bila ia menuntun aku.

[Pause].-

12.B : Dia ? Dia siapa ?

13.A : Dia istriku. [Pause] Seorang wanita. [Pause]. Tapi sekarang……….[Pause]

14.B : Sekarang ?

15.A : Kapan aku keluar, aku tidak tahu; dan kapan aku tiba di sini aku tidak tahu dan selama aku berada di sini aku tidak tahu, apakah siang atau malam.

16.B : Kau tidak selalu seperti dirimu. Apa yang menguasai kau ? Perempuan?Judi? Atau Tuhan ?

17.A : Aku akan selamanya seperti diriku.

18.B : Mari !

19.A : [Marah]. Aku akan selamanya seperti diriku,dicekam kegelapan sambil menggesek biola yang menghasilkan nada-nada sumbang menuju ke empat penjuru angin.

20.B : [Marah]. Kita mempunyai istri, bukan? Istrimu akan menuntun kau dan istriku akan mendorong kursi roda ini ke luar di waktu malam dan pulang lagi di waktu pagi dan mendorong aku sejauh mungkin bila aku bingung.

21.A : Kau pincang ? [Tanpa emosi] Mahluk yang malang !

22.B : Cuma satu masalah: kalau putar ke kanan. Bila tak ada masalah yang satu ini, kupikir aku akan bisa mengelilingi dunia ini dengan cepat. Sampai pada suatu hari ketika aku menyadari aku bisa pulang. [Pause]. Umpama begini. Aku berada di A [ Ia mendorong dirinya sedikit ke depan lalu berhenti]. Aku bergerak ke B [Ia mendorong dirinya ke belakang sedikit, berhenti]. Dan aku kembali lagi ke A [dengan penuh kesulitan]. Garis lurus ! Ruang kosong ! [Pause]. Bisa aku mulai menggerakkan kau ?

23.A : Kadang-kadang aku mendengar langkah-langkah orang mendekat. Atau suara-suara. Aku bilang pada diriku, mereka itu sedang berjalan pulang, beberapa orang memang berjalan pulang, mencoba dan memulai lagi atau sedang mencari seseorang yang mereka tinggalkan di belakang.

24.B : Kembali! [Pause] Siapa yang mau kembali ke mari ? [Pause] Padahal kau tidak pernah menyeru ! [ Pause] Berteriaklah ! [Pause]. Tidak ?

25.A : Apakah kau mengamati sesuatu yang tidak ada?

26.B : Oh, aku? Mengamati sesuatu ? Kau tahu, aku duduk di sana, tergeletak di atas kursi, di kegelapan selama 23 jam dalam sehari. [Marah] Apa yang harus kuamati ? [Pause]. Kau pikir kita akan mengadakan semacam perlombaan setelah kau mulai mengenal aku, he ?

27.A : Kau bilang tadi daging dalam kaleng ?

28.B : Tepat.Bagaimana kau hidup selama ini? Kau tentulah kelaparan.

29.A. : Di mana mana banyak terdapat sesuatu.

30.B : Yang dapat dimakan?

31.A : Kadang-kadang.-

32.B : Kenapa tidak kau biarkan saja dirimu mati kelaparan?

33.A : Dalam hidupku aku pernah berbahagia. Suatu hari aku mendapat sedekah berupa buah-buahan sebanyak satu keranjang besar.

34.B : Tidak !

35.A : O, ya, cuma satu keranjang kecil penuh buah-buahan di pertengahan jalan ini.

36.B : Oke, baiklah. Tapi kenapa tidak kau biarkan dirimu mati ?

37.A : Aku memang pernah memikirkan hal itu.

38.B : [Mangkel].Tapi kau toh tidak melakukannya.
39.A : Aku cukup bahagia.{Pause]
Memang aku selalu tidak bahagia, tapi cukup bahagia.

40.B : Tapi kau tentulah setiap harinya akan bertambah tidak bahagia.

41.A : [Marah].Aku cukup bahagia. [Pause]

42.B : Sekiranya memang kita-kita ini dibuat untuk kepentingan satu sama lain, bagaimana ?

43.A : [Gerak gerik yang penuh arti].Kini, bagaimana semua hal itu tampaknya ?

44.B : Oh, aku ? Aku tidak pernah pergi jauh-jauh. Cuma maju-mundur didepan pintu rumahku. Sebelumnya aku tidak pernah ke mari.

45.A : Tapi apakah kau mencari dirimu?

46.B : Bukan, bukan begitu !

47.A : Setelah masa kegelapan itu, kau tidak………

48.B : [Marah].Bukan?! [Pause]. Tentu, kalau kau mau aku mencari diriku, aku akan melakukannya. Dan akhirnya kau tidak keberatan mendorong kursi rodaku ini, aku akanmencoba melukiskan pemandangan di sekitar kita sementara kita melaju ke depan.

49.A : Maksudmu aku akan menuntunmu ? Aku tidak mau tersesat lagi.

50. B : Tentu. Aku akan bilang begini; Hati-hati, Billy, kita sedang menuju ke sebuah tumpukan kotoran yang besar. Mundur sedikit dan belok ke kiri. Itulah kata-kata yang akan kuberikan padamu.

51.A : Kau akan bilang begitu ?

52.B : [Tampak puas] Gampang bukan? Gampang sekali, Billy. Di sana dalam parit aku melihat sebuah kaleng. Mudah mudahan ia berisi sop. Atau mungkin juga sayur kacang buncis.

53.A : Sayur kacang-buncis ! [Pause].-

54.B : Apakah kau mulai menyukai aku ? [Pause]
Atau itu cuma imajinasiku.

55.A : Sayur buncis ! [Ia bangun, mengambil mangkoknya dan manyodorkan ke arah B,meminta]. Di mana engkau ?

56.B : Di sini, temanku sayang. [A mencoba mendorong kursi roda itu dengan serampangan]. Berhenti,berhenti !

57.A : [Terus juga mendorong]. Bukankah ini suatu berkah bagimu? Atau katakanlah semacam hadiah !

58.B : Berhenti ! [Ia mencondongkan badannya ke belakang. A membiarkan kursi roda itu menggelinding dan melompat ke belakang. Pause. A menggapai –gapai mencari bangku tempat duduknya. Maju.Berhenti, menggapai-gapai lagi. Tidak ditemukan bangku tempat duduknya itu]. Maafkan aku. [Pause]. Maafkan aku, Billy.

59.A : Di mana aku ? [Pause].Di mana aku tadi ?

60.B : Rupanya aku kini kehilangan dia. Padahal ia sudah mulai menyukai aku. Tapi aku mengecewakan dia. Ia akan meninggalkan aku dan aku tidak akan melihat dia lagi. Aku tidak akan melihat siapapun lagi. Kita tidak akan mendengar suara-suara manusia lagi.

61.A : Apakah kau tidak mendengarnya ? keluhan dan rintihan yang sama sejak dari buaian ibunda sampai ke kuburan.

62.B : [Mengerang].Lakukanlah sesuatu untukku sebelum aku pergi.

63.A : Di sana. Kau bisa dengar ? [Pause].Aku tidak bisa pergi ![Pause].Kau dengar ?

64.B : Kau tidak bisa pergi ?

65.A : Aku tidak bisa pergi tanpa alat-alatku ini.

66.B : Alat-alat apa itu yang menjdi milikmu ?

67.A : Tak ada.

68.B : Lho,katanya kau tidak bisa pergi tanpa alat-alatmu.

69.A : Memang. [Ia mulai meraba-raba lagi, lalu berhenti].Akhirnya aku akan mendapatkannya.[Pause].Atau aku tinggalkan saja.

70.B : Tolong perbaiki selimut pada kakiku. Kakiku terasa sangat dingin.[A berhenti].Bisa saja kulakukan sendiri, tapi akan terlalu lama.[Pause].Lakukanlah untukku, Billy.Sudah itu aku bisa kembali ke sudut yang sepi itu dan di sana aku bilang: aku telah melihat orang untuk terakhir kalinya, aku mengecewakan dia setelah dia sempat menolong aku.

[Pause]

Kutemukan kepingan-kepingan cinta di sudut hatiku dan kematiannya dapat kupadukan dengan jenis diriku.[Pause].Kenapa kau memandang tercengang seperti itu padaku ? [Pause].Apakah aku mengatakan sesuatu yang tidak pantas kukatakan? [Pause].Bagaimana rupa jiwaku?[ A berjalan dengan meraba-raba menuju padanya].

71.A : Bersuaralah !
[B mengeluarkan suara. A meraba-raba menuju padanya lagi.Berhenti].

72.B : Apakah alat penciummu sudah tumpul ?

73.A : Dimana-mana cuma tercium bau busuk.
[A membuka lebar-lebar tangannya.Apakah tanganmu tidak bisa menjangkau tanganku? [Ia berdiri diam,tanpa gerak dengan tangan terbuka ke depan].


74.B : Sebentar.Kau kan tidak melakukan sesuatu dengan cuma-cuma.[Pause].Kumaksudkan,tanpa syarat.[Pause].Tuhan Maha Pengasih.[Pause].Ia dapat memegang tangan A dan menarik ke dekatnya].

75.A : Kakimu ?

76.B : Apa ?

77.A : Kau bilang kakimu !

78.B : Aku cuma tahu kata kaki.[Pause]. Ya ,kakiku,cobalah bungkukskan dengan baik
[A membungkuk, meraba-raba].Berlututlah, dengan berlutut kukira kau akan lebih santai.[B membantu A untuk berlutut di suatu tempat yang baik].Ah, di sana !

79.A : [Merasa diganggu].Biarkan tanganku merabamu.Kau ingin supaya aku membantumu, tapi kau pegang tanganku.
[B membiarkan tangannya meraba dan ia merasa geli ketika selimut kakinya diraba].Apakah kau cuma mempunyai satu kaki?

80.B : Memang cuma satu.

81.A : Dan yang satunya?

82.B : Membusuk, lalu dipotong.[A membungkus kaki yang satu ini]

83.A : Sudah cukup?

84.B : Ketatkan sedikit.[A melakukannya].Cekatan sekali tanganmu.
[Pause].-

85.A : [Meraba-raba, menuju perut B].Apakah ini bagian-bagian lainnya ?
86.B : Kini kau boleh berdiri dan meminta balas jasamu.

87.A : Bagian-bagian lainnya bagaimana ?
88.B : Bagian-bagian lainnya memang tidak dipotong, kalau itu yang kau ingin ketahui.[Tangan A meraba ke atas lagi, meraba wajah B].

89.A : Ini wajahmu ?
90.B : Sumpah, memang itu wajahku.[Pause].Seperti apa kira-kira wajahku itu? [Jari-jari A meraba ketempat-tempat lainnya]. Itu ? Itu namanya kutil.

91.A : Merah ?

92.B : Ungu ! [A menarik tangannya, tapi tetap berlutut].Tanganmu memang cekatan ! [Pause]

93.A : Masih tetap siang ?

94.B : Siang ?[Memandang ke angkasa].Terserah kalau kau mau.[Memandang].Memang tak ada kata yang tepat untuk itu.

95.A : Kira-kira akan segera malam? [B membungkukkan badannya pada A dan memegang pundak A]

96.B : Mari,Billy,berdirilah,kini kau mulai merepotkan aku.

97.A : Apakah akan segera malam ?

98.B : [Memandang ke langit].Siang….malam….[memandang lagi].kadang-kadang tampak bagiku dunia ini begitu angkuh dan sombong; diberikannya kita siang tanpa matahari, di tengah-tengah jantung musim dingin, di suatu malam yang kelabu.[Memegang bahu A lagi].marilah,Billy, berdirilah, kau kini mulai merintangi aku.

99.A : Apakah dimana-mana tampak rumput ?

100.B :Tidak.

1.A : [Gemas].Tidak tampak hijau di mana-mana ?

2.B : Cuma ada sedikit lumut.[Pause.A mengelus-elus selimut kaki B, lalu meletakkan kepalanya di atas kaki B itu].
Tuhan Maha Pemurah ! Apakah kau tidak akan berdoa ?

3.A : Tidak !

4.B : Atau menangis barangkali ?

5.A :Tidak.[Pause].Aku bisa meletakkan kepala seperti ini untuk selama-lamanya, di atas lutut seorang teman tua.

6.B : Lutut! [Menggoncang-goncangkan badan A dengan keras].Apakah kau tidak bisa bangun?

7.A :[Membenah dirinya agar lebih nyaman].Alangkah tenang dan damainya ! [B menolaknya dengan keras. A jatuh dan bertelokan pada tangannya]. Dora,istriku sering bilang bila aku tidak cukup memperoleh uang: Kau dan harpamu! Lebih baik kau merangkak ke segenap penjuru dunia dengan medali-medakli ayahmu yang kau sematkan di pantat celanamu dan kotak uang bergantungan di lehermu. Kau dan alat musikmu itu! Kau pikir kau ini siapa sih ?
Dan dia membiarkan aku tidur di lantai.[Pause]. Siapakah aku ini ?…….[Pause].Ah, aku tidak mampu menerkanya. [Pause].Lalu dia berdiri. Tidak pernah mampu.[Ia mulai meraba lagi, mencari tempat duduknya, lalu berhenti dan memasang telinga seperti mendengar sesuatu].Jika suara-suara itu cukup lama kudengar, maka sebuah harpa dengan satu tali cukuplah.

8.B : Harpamu ? [Pause].Macam apakah kiranya harpamu itu ?

9.A : Dulu pernah aku memiliki sebuah harpa kecil.Tapi diamlah, dan biarkan aku mendengar sesuatu.[Pause]

10.B : Berapa lama kau mampu diam seperti itu ?

11. A :Aku bisa berjam-jam mendengar segala macam suara.
[Keduanya memasang telinga, mendengar]

12.B : Suara-suara apakah itu ?

13.A : Aku tidak tahu suara apa itu.
[Keduanya memasang telinga lagi.Mendengar]

14.B :Aku dapat melihatnya.[Pause].Aku dapat…………

15.A :[Marah] Apakah kau tidak mau diam ?

16.B : Tidak ! [B melepaskan kepala A yang dipegang dari tadi].Aku dapat melihat dengan jelas, itu di tempat dudukmu.[Pause]. Bagaimana kalau aku mengambilnya lalu kabur? [Pause]. Eh, Billy, bagaimana tanggapanmu ? [Pause].
Suatu hari nanti, akan ada orang tua yang lain, muncul dari persembunyiannya dan mendapatkan kau sedang membunyikan harmonikamu. Dan kau akan mengatakan padanya, bahwa kau pernah memiliki sebuah biola kecil.[Pause]. Eh, Billy ! [Pause] Aatau kau sedang menyanyi. [Pause]Eh ,Billy, bagaimana tanggapanmu ?[Pause]
Dan di sana, ia akan bersiut-siut pada angin musim dingin setelah kehilangan harmonika kecilnya.
[Ia mendorong A dengan tongkatnya]. Eh, Billy ?
[A berputar, memegang ujung tongkat itu dan merampasnya dari tangan B].

Layar. Layar.-


Mataram,6 Februari 1978.

NYANYIAN ANGSA

NYANYIAN ANGSA
Karya : Anton Pavlovic Chekhov
Terjemahan : Teguh Karya



SEBUAH PANGGUNG GEDUNG PERTUNJUKAN SEHABIS PEMENTASAN. WAKTU TENGAH MALAM. TIBA-TIBA MUNCUL SVETNOVIDOV DENGAN PAKAIAN BADUT DARI KAMAR RIAS DENGAN SEDIKIT MABUK


SVET : Salamku selamat malam. Salamku sekali lagi selamat malam apa kabar, aku tertidur di kamar rias. Pertunjukan telah lama berlalu. Semua orang telah meninggalkan gedung ini dan aku dengan tenang mengorok seenaknya. Oh, kau tua bangka, kau anjing tua. Aku kira aku mabuk dan tertidur di kursiku. Kau adalah seorang yang cerdik. Aku tak dapat mengatakan banyak tentang kau, saying. ( BERTERIAK ) Yegorka, Yegorka, setan! Petruska, Petruska. Mereka tertidur, seratus setan dan seorang tukang tenung menggangu mereka. Yegorka, Petruska. Tak ada suara sedikitpun. Hanya gema yang menyahut. Aku beri Yegorka dan Petruska tiga rubel setiap hari untuk mencari aku setiap kali. Segerombolan anjing pasti tak menyuruh mereka keluar malam ini……. Mereka sudah pergi dan aku kira mereka sudah mengunci gedung ini, anak celaka………. ( MEMEGANG KEPALA ) Mabuk. Oh, sebotol anggur dan bir untuk kehormatan kehadiranku, demi Tuhan. Aku pusing dan mulutku terasa seolah-olah kemasukan sebatalion tentara sedang berkemah di dalamnya……….memualkan……. ( DIAM ). Tolol………si tolol telah mabuk dan tak dapat mengatakan apa-apa. Oh, demi Tuhan. Belakangku pegal-pegal dan kepalaku terasa terbelah , seluruh badanku gemetar dan hatiku terasa dingin dan gelap seperti liang kubur………..Jika kau tidak memperhatikan kesehatanmu, setidaknya kau harus merasa kesihan kepada umurmu yang tua. Ivantik tolol…….. ( DIAM ) Usia tua……..Kau boleh mencapai umur itu, dan menempatkan mukamu dengan lancing di dalamnya dan menjadi seorang tolo, tapi yang pasti kau sudah menjalani hidupmu enam puluh delapan tahun lewat dan telah kau pergunakan. Tak ada lagi yang dapat mengembalikan………… Botol ini telah kukosongkan, hanya tinggal beberapa tetes di dalamnya. Tak ada lagi yang tinggal, ya, …….Begitu halnya……. Mau tak mau akhirnya sudah waktunya utnuk menyiapkan kematian, maut sudah tak jauh lagi. ( MELIHAT KE DEPAN ) Aku sudah empat puluh lima tahun di panggung ini dan aku pasti, inilah pertama kali kulihat panggung di malam hari. Ya, untuk pertama kalinya…….. aneh, ( PERGI KE FOOTLIGHT ). Seseorang tak dapat melihat apa-apa kecuali tempat pembisik, baris bangku pertama, tempat musik, selebihnya cuma kegelapan. Rongga gelap yang tak ada batasanya seperti llling kubur yang di dalamnya tersembunyi kematian, alangkah dingin. Ada kekuatan di dalamnya yang mendorong seolah keluar dari cerobong……… Ini adalah tempat yang paling cocok untuk mendapatkan kenangan ;lama. Tak mungkin, terkutuk semuanya. Aku merasa belakangku, belakangku gemetar…………. (BERTERIAK ) Yegorka, Petruska. Dimana kalian, setan-setan. Demi Tuhan, mengapa aku bicara tentang setan-setan. Ah, hentikan aku bicara tentang itu, hentikan aku minum, sudah tua, sudah waktunya untuk mati……… Pada umur enam puluh delapan, kita harus mengunjungi masa pagi, bersiap-siap untuk kematian, tapi kau ……… demi Tuhan, bahasamu kasar, mukamu menggambarkan kemabukan, dan baju gila ini……. Pasti pandangan yang memuakkan. Aku akan cepat-cepat menganti pakaian……….. ini tidak mungkin. Seorang diri mati ketakutan jika harus bermalam di sini ( PERGI KE KAMAR GANTI PAKAIAN SEMENTARA NIKITUSHKA MUNCUL DENGAN BAJU PUTIH DAN BERKERUDUNG KAIN SELIMUT KELUAR DARI KAMAR PAKAIAN )

SVET : ( MELIHAT NIKITUSHKA KAGET MUNDUR KEMBALI ) Siapa kau ? Apa maksudmu, siapa yang kau ingini ( GELISAH ) Siapa kau ?

NIK : Hanya aku.


SVET : Siapa ?

NIK :(PERLAHAN-LAHAN MENGHAMPIRI DENGAN MEMBUKA KERUDUNGNYA LALU MEMAKAI TOPI ) Aku, pembisik Nikita Ivanithc………. Vassilit Vassillithc, aku…….


SVET : ( NAFASNYA MEMBURU DAN GEMETARAN KARENA TAKUT ) Demi Tuhan, siapa kau…….. ( MULAI MENGENALI NIKITUSHKA ) Kau, Nikitushka ? Kau sedang berbuat apa ?

NIK : Aku bermalam di kamar pakaian. Tapi demi kebaikan jangan kau ceritakan pada Alexky Fomitho…….Aku ada lagi bermalam seperti Tuhan juga di atas, aku juga demikian.


SVET : Kau, Nikitushka……….Demi Tuuhan, demi Tuhan. Mereka memanggil akku enam belas kali sebelum layer di buka, mereka menghadiahkan aku tiga karangan bunga dan lagi barang-barang lain…….Mereka semua puas, tapi tak ada seorangpun yang memperdulikan¸membangunkan si tua pemabuk ini dan membawanya pulang……. Aku sudah tua. Nikitushka……….. aku berumur enam puluh delapan…….. Aku sakit-sakitan. Semangatku sudah mulai padam.

NIK : ( TERMANGU DAN MENARUH RESPEK ) Sudah waktunya kau pulang ke rumah Vassilit Vassilitch

SVET : Aku tak akan pergi. Aku tidak punya rumah. Tak punya apa-apa.

NIK : Kawanku, kau lupa dimana kau hidup.

SVET : Aku tak mau pergi ke sana. Aku tak mau. Di sana akku sendiri….. Aku tak punya siapa-siapa, Nikitushka, tak ada kawan, istri, anak…… Aku hanya sendirian seperti angina di tengah-tengah padang gandum……. Aku akan mati, dan di sana tak ada seorangpun yang akan berdoa untuk aku……. Aku begitu takut sendirian. Tak ada seorangpun yang menghibur aku, berbuat sesuatu untuk menaikkan aku ke ranjang jika aku mabuk. Kepunyaan siapa aku, ini? Siapa yang memerlukan? Siapa yang memperdulikan? Seorangpun tak ada yang perduli Nikitushka.

NIK : (TERHARU) Masyarakat mencintai kau, Vassilit Vassilitch.

SVET : Masyarakat sedang tidur di rumahnya. Mereka sudah melupakan aku. Tidak, Tidak ada yang memerlukan aku lagi, tak ada yang perduli. Aku tak punya istri atau anak.
NIK : (SINIS) Ya, ya penderitaan yang menyedihkan untuk dipikir.

SVET : (TERSINGGUNG) Aku seorang laki-laki. Aku hidup. Aku punya darah dalam pembuluhku, bukan air. Aku laki-laki terhormat Nikitushka. Dari keluarga baik-baik. Sebelum aku masuk ke dalam lubang celaka ini, aku jadi tentara, perwira pasukan meriam……… Aku anak muda yang baik, betapa cakap, gagah, kuat dan bersemanggat. Demi Tuhan, apa tujuanku sebenarnya, kemudian aku menjadi pemain sandiwara,Nikitushka. Bukan begitu? (MULAI TURUN EMOSINYA) Tapi kemudian apa yang terjadi. Dimana waktu ini tadi, kemudian teringat semuanya, semuanya llubang gelap ini terbuka selama empat puluh lima tahun dalam hidupku. Hidup dengan segalanya Nikitushka. Sekarang aku melihat di tempat yang gelap ini dan semuanya tampak sampai ke yang sekecil-kecilnya seperti akui melihat mukamu. Gairah kemudaan, semangat, kecintaan perempuan-perempuan. Perempuan-perempuan Nikitushka

NIK : Sudah waktunya kau tidur tuan Vassilit Vassilitch.

SVET : Kataku, aku menjadi pemain muda, ketika akku terbawa oleh antusiasme yang meluap-meluap. Aku ingat seorang perempuan jatuh cinta denganku karena permainanku. Dia cantik, jenjang seperti pohon, muda tak bersalah, murni dan penuh gairanh seperti matahari pagi musim panas. Malam yang segelap-gelapnya takkan than disinari oleh matanya yang biru dan senyumnya yang menjatuhkan. Gelombang air laut memecahkan karang-karang di pantai, tapi batu cadas, gunung es atau bukit salju akan dipecahkan oleh gelombang ikal rambutnya yang hitam pekat. Aku teringat berdiri di mukamu…… dia lebih manis dari itu, dibandingkan dari hari-hari biasa. Dia memandang aku begitu rupa, sehingga aku tak akan bisa melupakannya. Meski kedalam kubur……….. Keramahannya, lemah lembut, kedala, pandangannya, kecemerlangannya, kecemerlangan kemudaannya. Mematahkan hati, bahagia aku berlutut dihadapannya, aku memohon supaya dia membuat aku beruntung. (KECEWA DAN MERENDAHKAN SUARA) dan dia menjawa : tinggalkan panggung, tinggalkan panggung! Dapat kau mengerti? Dia dapat mencintai seorang pemain, tapi menjadi istrinya tidak bakal. Aku ingat hari itu, aku main………sungguh celaka, bagian lawakan……. Ketika memainkannya terasa hatiku terbuka…….. Aku melihat di dalamnya tak ada yang bisa dikatakan seni murni, semuanya pembicaraan liar dan semata-mata kepalsuan, dan aku adalah seorang budak, bermain untuk orang-orang menghilangkan waktu, seorang badut di banyak omong. Aku dapat melihatnya dari kata mata mereka. Ya Nikitushka, mereka mau bertepuk tangan untuk aku, mengumpulkan satu rubel untuk gambarku, tapi aku adalah orang asing bagi mereka, bagi mereka aku terlalu kotor, jalan yang paling terkenal. Untuk menghilangkan kehampaan mereka mau berkenalan dengan aku. Tapi tak ada seorangpun antara mereka yang sudi mengawinkan saudaranya dengan aku atau anaknya dengan aku….. Aku tidak percaya dengan mereka. (DUDUK. PUTUS ASA DIBANGKU) Aku tak percaya pada mereka.

NIK : Kau sudah tidak seperti kau dulu lagi Vassilit Vassilitch. Kau menakutkan aku….. Aku akan mengantar kau pulang, kau orang baik.

SVET : Aku telah melihatnya dengan nyata, dan dengan mahal aku telah membayarnya kenyataan ini Nikitushka. Sesudah soal ini….. setelah gadis itu…..Aku hidup cara apa saja, tidak bertentu, membuang-buang hidupku tanpa melihat kemuka……aku memerankan banyolan-banyolan, ejekan-ejekan. Aku memainkan peranan orang tolol. Aku adalah sisa yang sudah busuk….. Tapi dulu adalah seorang seniman tulen. Aku punya bakat, tapi aku telah mengubur bakatku itu, jadi kasar dan akhirnya aku kehilangan nada dan mendatar……. Lubang gelap ini telah menarik aku, menelan aku mentah-mentah. Aku belum pernah memikirkan sebelumnya, tapi malam ini waktu aku bangun, aku melit ke belakang dan di sana ada umurku enam puluh delapan tahun. Yang dapat kulihat hanya umur tua. Laguku telah dinyanyikan ( TERSENGGUK) Laguku telah dinyanyikan.
NIK : Vassilit Vassilitch. Kawan……tenangkan dirimu. Pandanglah aku.
( BERTERIAK ) Petruska, Yegorka.

SVET :Belum lagi kemampuanku bermain. Kekuatanku. Kau dapat bayangkan gaya bahasa yang aku punyai, perasaanku dan keindahannya, nada yang kupergunakan cukup untuk mempesona seseorang. Dengarkan sahabatku yang tua……. Tunggu, biarkan aku bernafas dalam-dalam…… ini misalnya dari “Boris Gadunov”
Harta Ivan diwariskan padaku karena anaknya
Seperti telah dinyatakan Dimitri dari seberang kubur.
Dan Boris sebagai korbanku telah mengutuk dan menggemparkan orang-orang untuk menentang aku.
Aku Tsarvith. Cukuplah tercoreng malu dimuka perawan tua Polandia sombong.
Boleh juga (GEMBIRA) Tunggu, ini ada sebagian dari “ King Lear “, Kau bayangkan, langit hitam, guntur, kilat bersahut-sahutan…….. zzzzz………
Memenuhi seluruh jagat lalu;
Bertiup segala angina
Hembuskan kekuatanku kejar, lari
Dan kau air terjun, badai
Tuangkan segalanya.
Sampai kau basahkan
Menara punya kami
Menenggelamkan segala burung jantan
Wahai gunung belerang
Dan tiang segala api
Gegarlah membelah
Menghapuskan kepalaku yang putih
Bersama segala guntur
Dan kau bermusuhan gempita
Lemparkan luluhkan keakraban hidup
Patahkan segala wujud alam
Dan tumpahkan segala hama penyakit
Hingga tak lagi kebesaran manusia
(TAK SABAR) Cepat lanjutnya (MEMUKUL-MUKUL KAKI) Lekas dengan kata-kata si dunggu berikutnya. Aku tak dapat menunggu.

NIK : (MEMAINKAN PERANAN SI DUNGU) Oh, Tuan, air suci keratin dirumah yang panas lebih baik dari air hujan di luar pintu.
Tuanda beri aku masuk
Dan kupohonkan kemesraan putrid-putrimu
Di luar malam tidak beri pertolongan
Pada si tua budiman atau si dungu

SVET : Bunyikan lagi gelembungmu
Cetuskan api, tungkan hujan
Putri-putrimu adalah angina
Hujan, taufan dan api
Aku tak kan menuntut kau
Kau segala anasir tanpa keramahan
Tak akan kuserahkan kerajaan
Tangis segala anak cucumu (TERTAWA GEMBIRA)
Menakjubkan! Bakat. Seorqng seniman lebih lagi dari itu……. Lebih dari masa mudaku…… mari kita teruskan. ( TERTAWA BAHAGIA ) Hamlet! Mari kita mulai……… peran apa harus kita mainkan? Ah, aku tahu.
Oh, si pencacat
Biar aku bertemu dengan mereka (KEPADA NIK)
Apa yang dipersoalkan lagi
Jika kau hendak mendorong aku kekecelakaan.
NIK : Oh, Tuanda, jika kewajibanku terlalu lancang
karena itu cintaku tak kenal adat.

SVET : Aku tak mengerti, mau kau mainkan suling ini?

NIK : Tuanda. Hamba tak dapat.

SVET : Aku mohon padamu

NIK : Percayalah, hamba tak dapat.

SVET : Aku pinta dengan hormat

NIK : Hamba tak pandai memainkannya sedikitpun Tuanda

SVET : Mudah sekali, seperti halnya berdusta. Kuasai lubang-lubang itu dengan jari dan jempolmu. Hembuskan nafas dengan mulutmu. Dia akan membunyikan musik indah dengan fasifnya.

NIK : Hamba tak punya keahlian untuk itu

SVET : Mengapa?
Lihat dirimu sekarang
Betapa kau membuat aku barang tak berguna!
Kau tak mau bermain untuk aku
Seolah-olah tak mengerti kepedihanku
Kau mau merenggutkan
Hati penderitaanku.
Apakah kau kira aku lebih mudah
Dipermainkan daripada suling
Kau dapat menghisap darahku
Tapi kau tak dapat mempermainkan aku (TERTAWA DAN BERTERIAK GEMBIRA) Sukses, sukses, sukses. Dimana sekarang setan kuburan? Dan kini tak ada usia tua, semua bohong dan omong kosong. Kurasakan semua mengalir melalui darahku, kemudaan, kesegaran, hidup! Dimana ada bakat, Nikitushka. Tak ada usia tua. Aku dapat mengatasinya. Telah kita gulingkan. Tunggu sebentar. Biar aku ingat diriku dulu (MENGHELA NAFAS) Demi Tuhan, demi Tuhan. Dengarkan, betapa merdu dan khidmat musik agung….. Diam.
Malam selatan betapa senyap
Di langit hitam bertaburan
Bintang-bintang bertebaran
Alam menyilahkan selamat tidur dengan ramah
Dan kesegaran teklah jatuh bertiup daun-daun perak (TERDENGAR SUARA BENDA DIBANTING) Apa itu?

NIK : Pasti Petruska dan Yegorka. Menakjubkan Vassilit Vassilitch. Sungguh!

SVET : (BERTERIAK KE ARAH PINTU) Jalan sial pahlawanku! (KEPADA NIKITUSHKA) Kita pergi dari sini dan berganti pakaian ……. Tak ada yang lebih buruk dari masa tua, segalanya omong kosong. Terdesak……. (TERTAWA DAN MENANGIS) Mengapa kau. Menanggis. Kawanku yang malang, apa yang kau bengongkan? Ah……… Tak bisa menolong apa-apa. Tak bisa sama sekali, mari kawanku, jangan menangis begitu. Mengapa! Ayo, mari (DIA MENANGIS) Kita tak usah menangis……. Dimana bakat ada tak ada usia tua atau kesepian atau penyakit, malah kematian telah kita renggutkan separo dari kuasanya…………. (MENGHAPUS AIRMATA) Ya Nikitushka lagu kita telah dimainkan…….. Benar-benar berbakat. Kita isi peran jeruk. Si penyakitan yang paling celaka, kuku yang sudah busuk, dan adalah tikus panggung yang sudah tua, seorang pembisik…….. Mari kita pergi. Aku tak punya bakat, di sandiwara-sandiwara berat. Kau hanya sosok jadi karung beras, dan pengemis buta yang papa, Nikitushka.

NIK : Selamat tinggal ketenangan jiwa
Selamat tinggal kepuasan
Selamat tinggal busa-busa kesakitan
Dan kebesaran perang
Dia membuat niat-niat kebaikan
Oh, selamat tinggal
Selamat tinggal ringkik kuda perang
Kau bagai tersayat
Gairah bunyi tambur
Suling yang memekikkan
Panji kerajaan dan segala keahlian
Kebangaan, anjing peran
Dan suasana kebesaran bertempur

SVET : Mengagumkan. Mengagumkan! Atau kau ambil ini :
Minggir, bukakan jalan
Dan jangan menoleh ke belakang
Aku terbang meninggalkan tempat ini menjelajah dunia
Mencari tempat pergantian
Untuk hati yang hancur
Seorang pelatih, seorang pelatih, aku ingin seorang pelatih. (PERGI DENGAN DIIKUTI NIKITUSHKA)

MENUNGGU KEKASIH

MENUNGGU KEKASIH




Betapa mahalnya
Harga sebuah kesetiaan
Betapa mahalnya
Harga sebuah kesabaran
Betapa mahalnya
Harga sebuah kepercayaan




SINOPSIS

Adalah dua orang tua yang menjadi penghuni panti jompo, mereka adalah nona Kumala yang meskipun tua tetapi selalu ingin tampil trendi, sementara yang satunya adalah Diajeng Kusyarini, orangnya lugu tetapi cerewet. Sebelum di panti keduanya belum sling kenal, tetapi aneh keduanya punya masalah yang sama, yaitu menunggu kekasih selama enam puluh tahun.
Kedua perempuan ini terlalu setia menunggu lelaki yang dahulu menjadi kekasihnya. Sampai mereka tuapun, sampai mereka pikunpun, sampai mereka masuk panti jompo, mereka rela belum kawin, rela menunggu. Untung saja mereka mendapat perwatan yang penuh kasih sayang dari seorang perawat panti, yaitu sutter Ika.
Setelah enam puluh tahun menunggu, baru di tahun ke enam puluh ini mereka mengerti bahwa mereka mempunyai kekasih yang sama, yaitu Amat Sape’i si pemuda Wonosari, yang merantau ke Serawak dan sampai akhir hayatnya belum bisa pulang ke Yogya memenuhi janjinya untuk menikahi kedua kekasihnya itu.



Pagi yang cerah, sunyi, sepi, damai. Di teras sebuah Panti Jompo yang kelihatan sederhana tapi bersih. Beberapa tanaman di sekitar rumah itu tampak segar sehingga menambah sejuknya suasana pagi itu. Sebentar kemudian sepi itu dipecahkan oleh suara kelonthongan sapi yang dibunyikan oleh Diajeng Kusyarini, panggil saja Jeng Kus.
JENG KUS : (SAMBIL MEMBUNYIKAN BEL) Sutter... ter... sutter Ika... ka.. di mana kamu nduk ?.. nduk ?... Sutter... ter... Sutter... sut...
SUTTER IKA : (DARI JAUH DI DALAM RUMAH) Iya Nek saya datang... sebentar... (SETELAH MENGHADAP), ada apa Nek ?
JENG KUS : Nenek lagi, nenek lagi. Bosen ah, panggil saja Jeng Kus, gitu. Kan lebih akrab. Sudah berapa kali saya bilangin, orang masih perawan kok dipanggil nenek.
SUTTER IKA : Iya Jeng, Jeng Kus... (BERPIKIR SEJENAK) Tapi rasanya kok nggak enak ya?
JENG KUS : Sudah.... sudah nggak usah dipikir enak dan tidak enaknya. Oh ya, saya tadi mau apa ya ? Kok manggil Sutter Ika ? Apa ya ?
SUTTER IKA : Lho, mana saya tahu...
JENG KUS : (SADAR KALAU MEMBAWA JARUM JAHIT) Oh.. iya, baru ingat sekarang, saya bawa jarum jahit dan ini artinya mau menjahit, saya mau menjahit kebaya saya yang kembang-kembang ungu. Nah, sebelum saya mulai menjahit saya akan bertanya kepada Sutter Ika, dimanakah kebaya yang akan saya jahit itu, Sutter pasti tahu.
SUTTER IKA : Ya jelas tahu dong Nek, kebayanya ada di kalungkan di leher Nenek.
JENG KUS : Gusti Allah... Iya.. ya, tadi saya taruh di sini kok bisa lupa ya ? (TIBA-TIBA DARI KAMAR NONA KUMALA, JUGA TERDENGAR SUARA BEL MEMANGGIL SUTTER IKA)
NONA KUMALA : (DARI JAUH, MASIH DI KAMAR) Sutter Ika.... Sutter Ika... Di mana topi merah jambuku ?
SUTTER IKA : Iya sebentar (KEMUDIAN MASUK KE KAMAR NONA KUMALA)
JENG KUS : Dasar nenek cerewet, nenek genit, sok seksi, sok aksi, sok manis... gula kali (SAMBIL MENJAHIT KEBAYANYA YANG ROBEK)
NONA KUMALA : (KELUAR KAMAR, ASYIK NYANYI) Oh mama aku mau kawin mah... eh mama gue mau kawin mah...
JENG KUS : Eh... sombong !! Mboknya sudah almarhum saja masih nyebut-nyebut. (MENGEJEK) Oh simbok, aku mau kawin mbok.. oh, simbok...
NONA KUMALA : (TAK MENGHIRAUKAN EJEKAN JENG KUS) Hallo... pretty women...
JENG KUS : Ash !! Preti women... preti women !! Apa itu?
NONA KUMALA : (DENGAN KETWANYA YANG KHAS) Ehem... Sudah lama di sini Jeng Kus ? (JENG KUS ASYIK MENJAHIT) Jahit ni yee... (MEMPERHATIKAN JAHITAN JENG KUS, TERTAWA GELI) Kalau jahitnya begitu, kapan selesainya ??
JENG KUS : Memangnya kenapa ?
NONA KUMALA : Mana benang jahitnya ?
JENG KUS : (SADAR BELUM PAKAI BENANG) Gusti Allah.... (CEPET-CEPET MEMBUNYIKAN BEL) Sutter Ika... Sutter... sut... Sutter Ika...
SUTTER IKA : (JAUH DARI DAPUR) Iya, saya datang (SETELAH MENGHADAP) Ada apa lagi Nek ?
JENG KUS : Jeng...
SUTTER IKA : Iya Jeng, Diajeng Kusyarini...
JENG KUS : Sutter bagaimana ini. Saya menjahit kok nggak ada benangnya ?
SUTTER IKA : Lho, yang menjahit itu siapa ? Kok malah saya yang ditanya ?
JENG KUS : Iya ya, betul juga. Saya yang jahit, kok saya juga yang tanya. (MALU, KETAWA SENDIRI)
SUTTER IKA : Sekarang begini saja, Jeng Kus tunggu di sini biar saya yang mengambil benang jahitnya. (KEPADA NONA KUMALA) Aduh... pagi-pagi begini kok sudah cantik sekali, mau ke mana Non ?
NONA KUMALA : Tentu dong. Harus setia setiap saat pada kecantikannya, dan kalau seorang wanita tidak tampil cantik, maka ia dikatakan ketinggalan jaman, kuno, ndesit, dan itu namanya tidak moderen...
JENG KUS : Eh, Non Kumala, jaman moderen, tidak jaman batu. Tidak jaman rikiplik, tidak juga jaman sekarang. Yang namanya kecantikan itu tidak kenal jaman. Dan yang namanya wanita ya memang harus selalu cantik, bersih, sopan, santun bersusila.....
NONA KUMALA : Nah... Betul kan, Sutter Ika..
JENG KUS : E... e...eee... Tunggu dulu, aku belum selesai omongnya. Orang tampil cantik itu boleh-boleh saja, tapi ya lihat umur dulu. Sudah bau peti mati begitu, dandannya masih menor.
NONA KUMALA : (DENGAN KETAWANYA YANG KHAS) Sutter.......
SUTTER IKA : Iya.. Ada apa, Non Kumala ?
NONA KUMALA : Anu Sutter, bolehkah saya keluar barang sebentar saja ?
SUTTER IKA : Mau ke mana ?
NONA KUMALA : Mau ke balai desa, pingin ikut kegiatan anak-anak karang taruna.
SUTTER IKA : Kegiatan apa, Non ?
NONA KUMALA : Senam aerobic.
SUTTER IKA : Aduh, jangan Non Kumala. Jangan aerobic ah. Yang ringan-ringan saja, taichi lah, waitankung lah, jailangkung lah, jangan kangkung lah, pokoknya yang pakai kung... kung... itu lho...
NONA KUMALA : Ogah... Emoh, kalau yang ringan-ringan. Pokoknya aerobic, aerobic, aerobic...
SUTTER IKA : Jangan, jangan, jangan. Pokoknya yang ringan.
NONA KUMALA : Saya ndak mau yang ringan !! (NGAMBEK)
JENG KUS : Dasar jumbo, gembrot !! Maunya njumbul-njumbul !
SUTTER IKA : Sudah... sekarang Non Kumala duduk-duduk di sini saja, ngobrol dengan Jeng Kus. (MASUK, SETELAH BEBERAPA SAAT JENG KUS LUPA AKAN JAHITANNYA, IA TERINGAT LAGI DAN LANGSUNG MEMBUNYIKAN BELNYA)
JENG KUS : Sutter... ter... Benang jahitnya mana ?
SUTTER IKA : Iya sebentar, baru dicari, (KELUAR LAGI) Ini benang jahitnya Jeng Kus. (MASUK LAGI)
SETELAH MENDAPAT BENANG JAHIT, JENG KUS MULAI MENJAHIT, TETAPI LUPA APA YANG MAU DIJAHIT, SEHINGGA IA MENJAHIT KEBAYA YANG SEDANG DIPAKAINYA.
NONA KUMALA : Jeng Kus, tahu tidak ? Kenapa saya selalu memakai make up, selalu berhias, berdandan berjam-jam di kamar ? Karena saya sedang menunggu kedatangan kekasih saya yang akan datang menjemput saya.
JENG KUS : Nyindir.....
NONA KUMALA : Kekasih tercinta, yang enam puluh tahun lalu berjanji akan menikahi saya, bayangkan, enam puluh tahun..
JENG KUS : Nyindir lagi....
NONA KUMALA : (ASYIK DENGAN DIRI SENDIRI) Oh, kekasihku tercinta, oh my sweet heart I love you, aku masih setia, dan aku yakin engkaupun juga masih setia. My love, sudah enam puluh tahun aku menunggumu, kapan kau akan menjemputku ? (KEPADA JENG KUS) Eh Jeng, kekasihku itu orangnya kalem, sopan, menyenangkan dan emm sangat tampan. (ASYIK DENGAN DIRI SENDIRI LAGI) Dahulu sewaktu aku masih pacaran...... (KEPADA JENG KUS) Tapi jangan samakan pacarannya dengan jaman sekarang lho. Aku dulu paling hanya muter-muter kampung, ngobrol. Kalau anak sekarang, baru pacaran saja sudah berani pegang-pegangan, remet-remetan entah apa yang diremet. Sudah berani nginep di vila beberapa hari. Sudah berani kiss-kissan, (JENG KUS TIDAK PAHAM KISS-KISSAN) Itu lho, ambung-ambungan. Makanya di jaman sekarang banyak anak remaja yang sudah hamil sebelum nikah. Dasar anak sekarang bandel-bandel. (TERINGAT PACARANNYA DAHULU) Aku masih mencintaimu mas. (MENARI, MENYANYI) Oh... my love, aku masih ingat ketika kau berjanji padaku, kau akan menikahiku, dan kau bilang aku harus menunggu bila saatnya tiba, dan akupun berjanji akan selalu setia menunggumu, hari ini kau pasti datang. Enam puluh tahun sudah, hari ini kau pasti menjemputku, hari ini kau pasti datang melamarku.
JENG KUS : Mulai lagi.... mulai lagi... Nyindir lagi...
NONA KUMALA : Nyindir apa ?
JENG KUS : Itu tadi !! Kamu nyindir-nyindir saya, enam puluh tahun menunggu kekasih.
NONA KUMALA : Nyindir-nyindir bagaimana ?
JENG KUS : Nyindir enam puluh tahun menunggu kekasih yang akan melamar, yang berjanji akan menikahiku.
SUTTER IKA : (YANG TIBA-TIBA DATANG) Ada apa ini kok ribut banget ??
JENG KUS : Itu Sutter, Non Kumala. Nyindir-nyindir saya terus..
NONA KUMALA : Nyindir apa ? Ini fakta kok, ini kenyataan kok dan ini sungguh-sungguh terjadi, benar ku alami. Lha kok dibilang nyindir..., lha malah Jeng Kus itu yang menghina saya (MENIRUKAN JENG KUS) Enam puluh tahun menunggu kekasih yang tak kunjung datang. Iya kan ? Iya kan ?
SUTTER IKA : Iya, tapi sabar..
JENG KUS : Tidak ada sabar-sabaran. Pokoknya dia telah menyindir saya, enam puluh tahun menunggu kekasih. Dan itulah yang benar-benar terjadi, benar-benar ku alami. Enam puluh tahun yang lalu, yang dia berjanji akan menikahiku. Enam puluh tahun lalu, sebelum dia akan merantau ke Serawak.
NONA KUMALA : Ke Serawak ? Pemuda Wonosari yang merantau ke Serawak ?
JENG KUS : Pemuda Wonosari ? Kok tahu ? Pemuda yang rambutnya keriting, kumisnya tebal, ada tahi lalatnya di bawah mata kirinya ?
JENG KUS &
NONA KUMALA : Amat Sape’i, pemuda Wonosari, enam puluh tahun, keriting...
SUTTER IKA : Lho kok ?????
JENG KUS &
NONA KUMALA : Pergi ke Serawak. Berjanji melamarku......
SUTTER IKA : Lho kok ?????
JENG KUS &
NONA KUMALA : Jadi kekasih kita sama.... ?
SUTTER IKA : Sama ? Enam puluh tahun ? Edaaan !!!

JENG KUS &
NONA KUMALA : Edann..... (JENG KUS DAN NONA KUMALA TERTAWA KARENA KEKASIHNYA SAMA, SUTTER IKA HANYA BENGONG, ADA SUARA BEL SEPEDA DARI PAK POS)
JENG KUS,
NONA KUMALA,
SUTTER IKA : Surat. (SEMUA MALAH JADI KEBINGUNGAN)
SUTTER IKA : Biar saya yang ambil. (MENGAMBIL SURAT. KEPADA PAK POS) Terima kasih pak pos.
JENG KUS &
NONA KUMALA : Buat siapa Sutter ?
SUTTER IKA : Ini ada surat buat Jeng Kus dan juga Nona Kumala.
JENG KUS &
NONA KUMALA : Buat saya, asyiiik. (KEDUANYA LANGSUNG MEREBUT SURAT TERSEBUT, TAPI CUMA DILIHAT SAJA DAN KEMUDIAN DISERAHKAN KEMBALI PADA SUTTER IKA) Tolong bacakan Sutter.
JENG KUS : Maklumlah Sutter, ndak bisa baca.
NONA KUMALA : Saya sih bisa baca, hanya saja matanya sudah ndak kuat.
SUTTER IKA : Iya saya bacakan. Jeng Kus, Non Kum duduk saja.
JENG KUS &
NONA KUMALA : Iya... iya... duduk...
SUTTER IKA : Kata pak pos, surat ini tadinya di alamatkan ke rumah Jeng Kus dan Nona Kumala, tapi oleh orang rumah disuruh mengantar kemari sekalian. (SEJENAK SUTTER IKA KAGET, TERPERANGAH, KARENA MELIHAT AMPLOP SURATNYA SAMA PERSIS) Kok sama, tulisannya juga sama, coba saya buka ya (MEMBUKA SURAT JENG KUS LALU MEMBACA SEKILAS) O... ya. Sekarang surat Nona Kumala (MEMBUKA DAN MEMBACANYA, KAGET) Lho kok isinya juga sama, persis, titik komanya juga persis, kata per katanya juga persis.
JENG KUS &
NONA KUMALA : Dari siapa Sutter ?
SUTTER IKA : Dari Amat Sape’i.
JENG KUS &
NONA KUMALA : Amat Sape’i ????? Oh.. (KEMUDIAN MELONGO)
SUTTER IKA : Saya bacakan ya. Buat kekasihku tercinta, saya kanda Amat Sape’i sangat yakin se yakin-yakinnya kalau dinda tercinta masih setia menunggu kakanda. Seperti janji kita dahulu.
JENG KUS : Oh mas Amat Sape’i. Seperti janji kita, sampai kini aku masih menunggu, aku masih setia.
NONA KUMALA : Mas Amat Sape’i, untukmu aku setia setiap saat. Aku selalu merindukanmu mas...
SUTTER IKA : Saya lanjutkan ya.. Mengenai janjiku dahulu akan tetap aku tepati. (KUS, KUMALA MELONGO) Tetapi sayang tidak di sini (KUS, KUMALA TAMBAH MELONGO) Karena sewaktu dinda membaca surat ini, mungkin kanda sudah tidak di sini lagi .
NONA KUMALA : Ya jelas tidak di sini, lha wong di Serawak.
JENG KUS : Iya, di Serawak juga ndak apa-apa.
SUTTER IKA : Melalui surat wasiat ini........
JENG KUS &
NONA KUMALA : Surat wasiat ??? Innalillahi’ .... Berarti....
SUTTER IKA : Melalui surat wasiat ini mas Amat Sape’i melamarmu, adinda.
JENG KUS &
NONA KUMALA : Melamar ????? (MELONGO)
SUTTER IKA : Dan perkawinannya akan kita laksanakan, besok di akherat.
JENG KUS : Di akherat ? Ha ? (MASIH MENGANGA MULUTNYA, DIA DUDUK DI KURSI DAN TIDAK BERGERAK, KAKU)
NONA KUMALA : (JADI GAGAP) Di..... di..... akh...akh... khe... khe... rrat.... mmma.... mmass.... (JUGA KAKU SEPERTI JENG KUS)
SUTTER IKA : Salam manis dari mas Amat Sape’i yang juga manis. Wassalam. Serawak 27 Januari 1990. Kekasihmu Amat Sape’i.
JENG KUS &
NONA KUMALA : Ya...... (KEMUDIAN LEMAS TAK BERDAYA, MUNGKIN MATI. MELIHAT KEJADIAN TERSEBUT SUTTER IKA MALAH BENGONG DAN MALAH SHOCK BERAT).

Puthut Buchori
Gowongan, 1993
[mementaskan naskah drama ini harus ada pemberitahuan kepada penulis]



Tentang Puthut Buchori

Nama Lengkap Puthut Buchori Ali Marsono, Kelahiran 6 September 1971. Alumni Jurusan teater ISI Yogyakarta, Selain Menjadi Direktur Artistik Bandungbondowoso ready on stage, Juga direktur Artistik di Teater MASA Jokjakarta, Perfomance Artist Post Punk Perfomance, dan bekerja secara freelance pada beberapa kelompok kesenian. Saat ini aktif menjadi konseptor dan pemimpin redaksi Underground Buletin Sastra ASK [Ajar Sastra Kulonprogo]. Berteater sejak kelas satu SMP di teater JIWA Yogyakarta pimpinan Agung Waskito ER. Telah Berproses teater lebih dari 100 repertoar, baik sebagai sutradara, pemain, tata artistik maupun tata lampu. Pernah membina kelompok teater, antara lain : Teater MAN Yogyakarta 1, Teater Puspanegara SMUN 5 Yogyakarta, SMUN 1 Depok Sleman Yogyakarta, Teater Cassello SMUN 1 Wates Kulonprogo Yogyakarta, Teater Thinthing Wates Kulonprogo Yogyakarta, SMU Kolese GONZAGA Jakarta (event tertentu), Kolese LOYOLA Semarang Jateng (event Tertentu). Teater Sangkar UPN Veteran Yogyakarta, Teater RAI ISI Yogyakarta, Teater DOEA KATA ISI Yogyakarta, dan saat ini sedang merintis kelompok teater di Wates Kulonprogo Yogyakarta

SAIJAH DAN ADINDA

SAIJAH DAN ADINDA
Karya : MULTATULI
Reproduksi : Aryaguna
Dari Saijah dan Adinda
Cuplikan dari “MAX HAVELAR”

BABAK I
Matahari menjelang tenggelam di desa parangkujang. Kelihatan Saijah, Santari dan Mad Dorat sedang istirahat di jalanan pinggir hutan. Beberapa tonggak kayu bekas di tebang mencuat dari tanah. Beberapa saat hening, antara mereka tak saling berkata. Kemudian Saijah mengeluh dan berkata.
SAIJAH : Lima belas tahun di sini, bukan sebentar. Berat sekali disuruh pindah begitu saja. Sungguh berat meninggalkan tanah. (menarik nafas panjang) Tanah adalah sebagian dari hidup kita, dan meninggalkan tanah adalah seperti meninggalkan sebagian dari nyawa. Kalian kan ngerti ini! Tidak ada anak tani yang meninggalkan tanah tempat ia dilahirkan!! (tempo) Air yang mengalir dalam tanah merupakan darah sendiri dalam tubuhnya, dan dia tidak bisa rela memberikan darahnya. Dan kalau dia juga dipaksa pergi… ah, adakah orang yang rela begitu saja memberikan darahnya?! Itulah anak tani. Tidak bisa dipaksa! Tapi kalau tanah sudah kering, itulah pula berarti darahnya kering sudah, seperti aku… kalau sudah kering, aku mau apa lagi di sini, di atas tanah kering…
MAD MORAD : Masih banyak bagian lain tempat yang akan dikerjakan.
SAIJAH : Tapi siapa menjamin, bahwa itu aman bisa dikerjakan.
MAD MORAD : Tapi pak Kliwon dengan keluarganya malah pindah ke tempat sebelah sungai itu.
SAIJAH : Ya, dia baru datang ke sini, Mad, dan mengapa dia kemari? Aku sendiri tidak tahu… menurut kata orang di tempatnya, dulu dia punya apa-apa.(sinis) sekarang dia malah punya kerbau sendiri.
SANTARI : Dia usaha sendiri barangkali.
SAIJAH : Kalau betul dia usaha sendiri, tentu dia hidupnya enak. Dan kalau dia hidup tenang di tanahnya, masa dia mau pindah!
SANTARI : Kalau begitu darimana?
SAIJAH : (dengan cemooh) darimana… memang tidak ada orang yang bisa tahu. Cuma orang tahu, sesudah pak Kliwon pergi, dia yang mula mula mau pergi dari situ juga kawan-kawannya pergi dari situ. Dan Kanjeng Bupati yang kasih salam sama pak Kliwon. Pak Kliwon perginya gembira tapi kawan-kawannya tak gembira seperti pak Kliwon.
MAD MORAD : Kalau begitu untung sekali pak Kliwon.
SAIJAH : Untung sampai nanti darahnya jadi kering?!
SANTARI : Mengapa sampai darahnya, Jah?
SAIJAH : Dia untung sampai darahnya kering, Santari, dan sampai dia tidak punya kerbau lagi!!
MAD MORAD : Kenapa begitu?
SAIJAH : Sekarang dia punya kerbau, dia enak. Tapi siapa yang menjamin bahwa dia boleh terus tinggal di atas tanah yang dia diami sekarang, dan dia boleh terus punya kerbau? (sejenak hening)
SANTARI : Kan Kanjeng Bupati yang kuasa kasih tanah.
SAIJAH : Nah , jadi Kanjeng Bupati yang kuasa semua. Ah, sejarah lama akan berulang. Juga bapaku dulu begitu, tapi tetap dia tidak mau, dan karena itulah, begini jadinya aku. Dia juga disuruh pindah, tapi…
SANTARI : Tapi…?
SAIJAH : Tapi dia ingkar, dan apa yang terjadi, kau tahu? Si hitam kerbauku hilang! Si hitam yang telah menolong aku dari bahaya maut. Kalian tahu bagaimana hebatnya dia berkelahi? Harimau itu sudah bukan main dekatnya – aku terjerambab di tanah. Tapi si hitam – dia sedia. Perut harimau dia makan dengan tanduknya, terburai keluar ususnya. Kepalanya luka…(diam sebentar – berubah sedih) dan kalian bayangkan, bagaimana sedih hatiku, ketika si hitam ditarik keluar, dipaksa, dan dia seakan-akan mengerti tidak mau bercerai dengan aku, tapi yang paling sedih ibu, karena dia… bapa tentu juga sedih… yang mengobati si hitam dengan daun, dia tahu, luka bekas kuku di leher si hitam yang keras dan tebal itu akan menjadi luka di tubuh anaknya yang sangat lunak. (tempo) manusia kan mesti tahu balas guna. Sedangkan binatang juga tahu membalas guna. Cuma saja manusia biasa lupa semuanya, kalau dia sedang senang.
SANTARI : Masa dia boleh begitu, Jah? Apa boleh saya mengambil kerbau orang?
SAIJAH : Betullah kau masih kanak-kanak. Kau terlalu lurus, dik, memang benar tidak hak seorang untuk merampas hak orang lain. Kecuali… ada kecualinya ! Kecuali yang merampas itu berkuasa!
SANTARI : (bersama Mad Morad) lho?!
SAIJAH : Kecuali yang merampas itu berkuasa, kataku. Dia dapat berbuat sekehendaknya karena segala kekuasaan ada di tangannya. Lebih dari kerbau dapat diambilnya. Nyawa kitapun…
MAD MORAD : Tapi siapa yang mengambil kerbaumu dulu, Jah?
SAIJAH : (agak meradang) Siapa lagi kalau bukan yang berkuasa!
MAD MORAD : Ya, siapa yang berkuasa?
SAIJAH : Masa kau tidak tahu, kan tadi sudah kukatakan. Aku mau Tanya: siapa yang berkuasa atas tanah kau tinggal? (memandang Satari) siapa yang meminta pajak pernah kau lihat pada ayahmu?
SANTARI : Kepala desa, jadi, kepala desa yang mengambilnya?
SAIJAH : Dia tentu tidak. Dia Cuma melaksanakan perintah.
SANTARI : Perintah siapa?
SAIJAH : Perintah atasannya. Tuan Camat.
SANTARI : Dan tuan Camat?
SAIJAH : Tuan Camat menjalankan perintah atasannya, tuan Wedana.
SANTARI : (ragu) kemudian…
SAIJAH : Ya… pada akhirnya kau tahu juga, bahwa perintah itu datang dari orang yang berkuasa di daerah Lebak ini. Itulah Kanjeng Bupati.
MAD MORAD : (kurang percaya) Kanjeng Bupati… masa, Jah? Kan itu ada tuan Residen – dia lebih tinggi. Dia tidak bisa bikin apa-apa?
SAIJAH : Tuan Residen mana maksudmu, Mad Morad?
MAD MORAD : (ragu) Tuan Residen… ka nada Tuan Residen…
SAIJAH : Oh, itu. Asisten Residen… ya, dia juga orang atasan, tapi dia tak bisa bikin apa-apa. Dia di sini tidak kuasa apa-apa kelihatannya 9tempo) tapi aku masih ingat betul, waktu mula-mula ia datang ke sini. Semua kepala-kepala dipanggil ke sini. Semua disuruh duduk di muka kantornya, dan dia pidato. Aku masih ingat bagian-bagian pidatonya. Hebat sekali. Dia datang ke sini dengan anak istrinya, dia senang tinggal di sini. Ah, hebat sekali pidatonya…
Black out – spot light (silhouette)
ASS RESIDEN : Tuanku raden Adipati bupati Banten Kidul, dan sekalian para raden Demang, yang menjadi kepala distrik di daerah ini, tuan Raden Jaksa, yang bekerja menegakkan keadilan dan tuan Raden Kliwon, yang menjalankan kekuasaan di ibu kota, dan sekalian para raden, mentri-mentri, serta sekalian kepala-kepala di daerah Banten Kidul. Terimalah salam saya… saya lihat bahwa rakyat tuan-tuan miskin, dan itulah yang menggembirakan hati nurani saya. Sebab saya tahu bahwa Allah cinta orang yang miskin, dan bahwa ia melimpahkan kekayaan kepada orang yang hendak diujinya, tetapi kepada orang yangmiskin diutusnya orang yang menyampaikan firman-Nya, supaya mereka bangkit dari kemelaratan… Kita bersuka cita bukan karena memotong padi, kita bersuka cita karena memotong padi kita yang kita tanam. Dan jiwa manusia tumbuh bukan karena upah, tapi kerja yang membikin ia berhak menerima upah… dan Residen di Semarang, yang adalah penguasa di wilayah Banten dimana berdiam lima kali seratus ribu manusia, ingin supaya keadilan berlaku di daerahnya, dan supaya berlaku keadilan di swapraja-swapraja yang patuh kepadanya…. Tuan-tuan kepala negri Lebak, kita semua menginginkan itu. Tapi jika ada orang diantara kita yang melalaikan kewajiban untuk mencari keuntungan, yang, menjual keadilan demi uang, atau merampas kerbau dari orang miskin, dan buah kepunyaan orang lapar… siapa yang akan menghukumnya? Tuan kepala negri Lebak, siapakah yang menjalankan keadilan di Banten Kidul? Dengarkanlah saya, jika saya katakana kepada tuan, bagaimana keadilan akan dijalankan….
Black out – fade in
SAIJAH : Ya, dia bilang, bahwa kita semua akan mati, baik yang berlaku adil, yang menjalankan hokum dan keadilan, yang tidak melakukan pemerasan terhadap si miskin, baik siapa yang menjual hokum kepada siapa yangmemberinya uang, yang tersenyum bahagia walau tak ada susu pada susu para ibu yang sedang menyusukan. Dia sangat mengharap perhubungan baik dengan tuan-tuan kepala Lebak, hidup dalam persahabatan, dia akan memberikan teguran lunak kepada yang berlaku sesat. Akan tetapi kepada yang menjalankan kesalahan yang lebih besar, yang melakukan paksaan dan penindasan, dia tak mau bicara lagi… hebat sekali (semua diam)
MAD MORAD : (setelah diam beberapa saat) dan apa jawab tuan-tuan di situ?
SAIJAH : (sambil geleng kepala) Oh, mereka diam semuanya. Kan berani Cuma pada yang kecil-kecil ini. (mencemooh) memang ada beberapa yang melihat kepada Kanjeng Bupati Lebak, tetapi tang lain-lain kebanyakan tunduk semua. (tempo-berubah sedih) tetapi… kerbau kami diambil, sebab bapa ingkar ikut perintah Kanjeng Bupati. Pikirnya! Kalau kerbau tidak ada, tentu tidak bisa kerja, tentu tidak bisa dapat uang, tidak bisa bayar pajak. Tentu dia bisa diusir. (tunduk berubah sedih) celaka sekali, memang bapa hampir menangis, si hitam dulu dibelinya dengan menjual keris pusaka kakek. Keris pakai sepuhan perak. Bagus sekali!
SANTARI : tapi sebelum itu kan kalian ada punya kerbau.
SAIJAH : Betul, ada. Tapi itu sudah lebih dulu diambil. Karena itulah bapa disuruh pindah tidak mau lagi. Waktu kerbau pertama dulu diambil, bapa tidak bilang apa-apa.
SANTARI : Mengapa diambil?
SAIJAH : (geram) Karena tuan Wedana perlu adakan pesta besar-besaran, kan anaknya yang perempuan kawin. Dan tuan Wedana adalah adik ipar Kanjeng Bupati (semua menarik nafas geram-sedih)
MAD MORAD : Tapi apakah semua ini dibiarkan Tuhan?
SAIJAH : (tenang) Yah.. nasib, dibiarkan Tuhan atau tidak, entah! Tapi begitulah jadinya, dan lenyap pula bapa. Bapa lari dari rumah, karena kalau dia tidak bisa bayar pajak, bukan saja diusirnya, tapi dia akan dihukum. Pusaka dia tidak ada lagi, karena kakekpun, bapanya, tidak punya apa-apa. Kerbaunya diambil Kanjeng Bupati yang sekarang ini, masih dicobanya dengan menyewa kerbau, tapi sungguh sakit kerja demikian kalau sudah biasa kerja dengan kerbau sendiri, sama susahnya dengan kita sekarang kita sekarang. Dari tanah yang sudah kita tanam dan kerjakan sejak kecil disuruh pindah ke tanah yang belum pasti baik.
SANTARI : Memang sakit memberikan apa yang menjadi hak kita, apalagi kalau dirugikan. (semua diam mengikuti pikiran masing-masing)
MAD MORAD : Sudah itu kemana bapamu, Jah?
SAIJAH : (tenang) ibu terlampau bersusah hati karena bapa pergi, dan ini membuat dia sakit… dan meninggal dunia, dan entah bapa mengetahui ibu tidak ada, pikirnya bertambah kalap, dia lari lebih jauh, lari dari Lebak. Dan tinggal aku tak menentu… (tempo) dan sejak itu aku diambil oleh bapa si Adinda. Sungguh aku berterima kasih sangat kepada kebaikan orang tua itu.
MAD MORAD : (menatap Saijah) Kau tidak berhutang budi apa-apa, Jah. Antara tani dengan tani tak ada hutang! Antara tani dengan tani ada hubungan nasib yang sama dipertahankan mati-matian, dan kesatuan nasib ini, siapapun tidak bisa memecahkan, juga tidak Kanjeng Bupati yang menguasai daerah ini!
SANTARI : Karena itu, sebaiknya engkau tetap tinggal di sini, baik di sebelah sana kita mulai membantu.
SAIJAH : Bagiku soal lain, kakek dan bapaku, keduanya turun temurun dirampas Kanjeng Bupati, dan aku lihat rumah gubugku itu, sejak kutinggalkan lama, makin lama makin tua, sampai rubuh. Ya, aku tidak punya apa-apa lagi, tapi biarpun demikian, aku masih menjadi incaran Kanjeng Bupati, karena bapa ingkar, yang sudah kering darahnya dihisap, kemudian ditangkap lagi sesudah melarikan diri, alasan mudah dicari, sebagai mudahnya mencari tongkat pemukul anjing, dia dipersalahkan meninggalkan Lebak ini tidak dengan surat keterangan, dan polisi membawanya kembali ke Badur.
MAD MORAD : Mau kemana bapa rupanya?
SAIJAH : Dia mau cari makan ke bogor, tapi dia dikirim kembali ke Badur, dan dia dimaukkan dalam penjara. Bukan karena tidak bayar pajak, tapi karena dia dinyatakan gila, dan lihat, mudahnya orang cari : alas an untuk memasukkan orang dalam, penjara. Soal sebenarnya, tentu mereka takut bapa akan gelap mata dan mengamuk, sebab sesabar-sabarnya manusia tentu ada batasnya. Tapi bapa tidak lama dalam penjara, dia segera mati, darahnya sudah kering, dan untuk mencabut nyawa yang masih ada sedikit lagi itu, tidak sukar. Untuk ini dia tidak perlu payah-payah membunuh diri karena kekesalan.
(Semua diam, matahari makin membenam. Saijah berdiri memandang kejauhan yang lain memandangnya dengan saying)
SAIJAH : (Berbisik) Ah, itu Adinda. Dia mau menuju kemari.
SANTARI : Kalau begitu biar kami pergi, tentu dia perlu ada apa-apa dengan kau.
(Santari dan Mad Morad pergi – Adinda datang – Saijah memandang dengan gembira tertahan – Adinda mendekati lamat-lamat)
SAIJAH : (Lambat) Kau lewat dari tempat kami tinggal dulu, Adinda?
ADINDA : Ya, baru aku lewat dari sana.
SAIJAH : Dan apa yang kelihatan olehmu dari sana?
(Adinda tidak menjawab. Dipandang Saijah mukanya – Adinda tunduk – lamabat dia duduk ke atas sebuah tonggak kayu)
ADINDA : (Sayu) Abu, tumpukan tanah bersama kotoran sampah.
SAIJAH : (Menarik nafas, memandang wajah Adinda) Di Lebak banyak tumpukan tanah seperti itu, tanda derita. Karena itulah aku akan pergi, aku tidak mau bapamu akan mengalami macam-macam pula oleh karena aku, dan alasan seperti kau tahu mudah dicari, semoga kau dan orang tuamu selamat, Adinda.
ADINDA : Tapi kau belum tahu kemana kau akan pergi, kemana yang kau tuju?
SAIJAH : Oh, aku akan ke kota, Adinda, bukan ke Bogor, bukan… bapa hendak kesitu tapi tak bisa, aku mau ke Betawi.
ADINDA : Apa yang hendak kau lakukan? Kau hanya tahu tani.
SAIJAH : Di Betawi gampang cari uang. Di kota banyak tuan-tuan gagah naik bendi, dan tentunya tuan-tuan itu bisa memakai aku jadi suruh-suruhannya mengurus bendi. Untuk mengurus bendi tentu dia cari orang muda seperti aku, dan kalau rajin tentu akan banyak uang.
ADINDA : (Gembira campur haru) Saijah…
SAIJAH : Ya… dan kalau terus rajin dalam tiga tahun, uangku cukup buat beli dua kerbau (berpikir sebentar, lalu mendekati Adinda dan duduk di sampingnya di atas tonggak) Adinda, coba pikir, kalau aku kembali, kita sudah bisa kawin, kita sudah punya dua kerbau!
ADINDA : Baik, sekali, Saijah! Aku mau kawin dengan engkau, kalau kau kembali, dan selama kau pergi, aku akan rajin menenun, bikin sarung dan selendang, membatik, aku akan rajin selama itu.
SAIJAH : Aku percaya padamu, Adinda. (ragu) tapi kalau kudapati kau kelak telah kawin dengan orang lain?
ADINDA : (Tertegun sebentar) Saijah… kau kan tahu, bahwa aku tidak akan kawin dengan siapapun selain engkau. Bapaku telah berjanji dahulu dengan bapamu.
SAIJAH : Bapamu dan bapaku… tapi kau sendiri?
ADINDA : (Tersenyum) Sudah tentu, pasti. Mengapa kau binbangkan. (tempo)
SAIJAH : Kalau aku kembali, dari jauh akan aku serukan…
ADINDA : Siapa bisa mendengarnya kalau kami menumbuk padi di kampung?
SAIJAH : Oh ya… betul juga, tapi Adinda… (sebentar pikir) yah beginilah, tunggu aku di hutan jati, di bawah pohon ketapang, tempat kau dulu memberikan melati padaku.
ADINDA : Tapi Saijah, bagaimana kutahu kalau aku harus kesana menunggu di bawah pohon ketapang?
SAIJAH : (Sejenak) hitunglah bulan! Tiga kali dua belas bulan aku akan pergi. Bulan ini jangan turut dihitung. (memandang kejauhan) dan Adinda tiap bulan terbit, berilah tanda guritan pisau di lesungmu, dan kalau kau telah menarik tiga kali dua belas guritan,… pada hari berikutnya, aku akan menunggu di bawah pohon ketapang. (menatap Adinda) maukah kau berjanji Adinda?
ADINDA : (Mengangguk tenang) Saijah, ya. Jika kkembali, aku pun menunggu di bawah pohon ketapang, dekat pohon jati, apakah tanda mataku untukmu Saijah?
(Saijah menatap terus – Adinda menyobekkain selendangnya – diberikan kepada Saijah – Saijah menyobek ikat kepalanya dan diserahkan Adinda – Saijah mengambil melati dari kantongnya dan membungkus dengan kain sobekan selendang Adinda)
SAIJAH : Inilah melati pemberianmu dulu, Adinda. Aku akan selalu mengenangmu…
(pelan-pelan lampu padam)

BABAK II
Hari malam, di jalan ke Badur dekat hutan jati, ada pohon ketapang pohon-pohon lain dan beberapa tonggak pohon. Kelihatan Saijah agak bingung. Kemudian diletakkannya bungkusan bawaannya. Kotak bambu dibukanya, dikeluarkannya pas dan surat-surat keterangan, pada bumbung bambu yang lain diikat dengan kulit ada kotak bambu.
Di timbang-timbangnya dengan gembira, kemudian dikeluarkannya isinya, dihitung-hitungnya, di pinggangnya ada keris, dipegang-pegangnya pula kemudian di bukanya. Ada ikat pinggang berkilat, di sediakannya untuk Adinda, segala bawaannya itu dihadapinya dengan gembira. Saijah duduk kelihatan gelisah – tidak sabar. Sesudah agak tenang dipegangnya tali yang terikat di lehernya, keluar satu bungkusan sutera, dibuka: bunga melati layu, diciumnya. Saijah memandang jauh, dengan tak sadar berkata:
SAIJAH : Di sanalah Badur… (diamatinya pohon satu persatu)
(terdengar suaranya sendiri – se:
* hitunglah bulan, tiga kali dua belas bulan aku akan pergi, Adinda. Tiap bulan baru terbit, guritkan tanda pisau di lesungmu.
(Saijah termenung. Kedengaran suara lagi)
* laki-laki : Pada hari berikutnya aku akan menunggu di bawah pohon ketapang.
* papan : ya, Saijah. Aku akan menunggu di bawah pohon ketapang.
(Suara ini makin lama makin cepat – lama-lama bersaman Saijah berdiri)
SAIJAH : Hari masih malam…
(Menjatuhkan dirinya di bawah pohon ketapang – bersandar – angin malam mendesau. Saijah tertidur – angin terus mendesau membawa mimpi:
************** Adinda membelakanginya
SAIJAH : Ingin kupeluk kau Adinda (Saijah terduduk menatap bayangan Adinda) wajahmu, Adinda, kepalamu, bahumu, sanggulmu nian alangkah besarnya, hitam berkilat menggantung ke bawah…
(Bayangan Adinda membalik, menghadap pada Saijah, tersenyum) matamu yang besar, Adinda, berkilat – ah, bibirmu yang menyimpulkan senyum persis ketika kecil dulu kuganggu. Dadamu busung disembunyikan kebaya sarung yang kau tenun sendiri meliputi pinggangmu, Lutut kencana. (sejenak terpeona menatap adinda maju) Aku datang, Adinda.
ADINDA : (Maju menatap Saijah) Selamat datang Saijah.
(Suara makin jelas) kenangan senantiasa padamu jua ketika menenun dan menumbuk padi di lesung. Selamat datang, saijah. Jadilah aku istrimu – apa cerita perjalanan?
SAIJAH : (Gembira) aku di Betawi, Adinda, tiga tahun cari uang tidak jadi suruhan bendi, aku jadi pelayan. Tepat tiga tahun aku berhenti, gembira sekali aku kemari, Adinda.
ADINDA : Selalu Adinda terkenang dalam hati abang?
SAIJAH : Sejak berangkat dulu, Adinda, bila malam hari, dalam gelap, kukeluarkan melati pemberian adik, dibawah pohon ketapang. Sedih wajah adik tidak terpandang, berat adik bercerai kasih tiga tahun. Akan kembali hati di tengah jalan, tapi apa konon Adinda memandang abang berhati rapuh? Teruslah jalan, tangan menekan dada bersuntingkan melati dalam sapu tangan sutera.
ADINDA : Tiada sesalan dalam hati abang?
SAIJAH : Ada timbul sesalan, adik. Pertengkaran kita yang lalu sebelum abang berangkat. Ketika adik pasangkan tali laying-layang adik-adik kecil, aduan laying desa Badur lawan desa Cipurut, adik salah pasang, desa Badur kalah, abang marah mencerca adik. Timbul sesal sungguh: bolehkah abang sekejam itu pada adik? Aku yang menghamburkan kata-kata cerca pada gadis, sesal tiada putus, karena kalau aku mati di rantau orang, tiap orang Badur akan berkata: untunglah si Saijah telah mati, karena dia kurang senonoh pada si Adinda…
ADINDA : Saijah, Saijah…. !
SAIJAH : Adinda, Adinda…! (akan dipeluknya Adinda – hilang)
(Saijah terbangun, makin lama hari makin terang, Saijah memandang jauh)
SAIJAH : Ibu, bapa…
(disangkanya bungkusan bawaannya, berjalan menuju jurusan Badur, tapi sejurus kembali lagi)
Ah, mengapa aku ke Badur? Bukankah baik kutunggu Adinda di sini? (memandang jauh, gelisah, sebentar-sebentar berdiri dan duduk)
SAIJAH : (tiba-tiba berdiri) itu jauh orang datang. Perempuan! Itu Adinda!! (Sejenak memperhatikan – kesal) ah, bukan… (angin pagi terus mendesau) masih belum ada orang dari Badur jalan kemari… (bingung sedih – lalu duduk) ah, barangkali ia tertidur karena berjaga-jaga semalam. Tentulah sejak berminggu-minggu tidak tidur, kasihan… biarlah aku ke Badur! (berpikir sejenak) ah, mengapa aku bimbang? Kan pasti dia datang! Nah itu ada orang dengan kerbaunya (memperhatikan kejauhan) Pak! Pak! Pak! Ah, tidak kedengaran. Baiklah tidak kedengaran… mengapa pula aku bertanyakan Adinda, jangan bertanyakan Adinda, dia pertama kali aku lihat, pertama kali dia! Ah, pasti dia segera datang. Biarlah aku menunggu (sejenak terbayang kesabaran – gelisah lagi) tapi kalau dia sakit… atau mati?! (seperti orang kehilangan akal dia lari menuju Badur. Kedengaran suara ramai di kejauhan, tidak lama dia kembali, tertunduk, angin sedih mendesau. Suara ramai makin mendekat, tiba-tiba Saijah lari menuju suara, terdengar suara perempuan memanggil)
BIBI : Saijah! Saijah! (hening sebentar, bibi mendekati Saijah) kami mengerti kesedihan hatimu, kau mencari Adinda.
SAIJAH : Ya, dimana Adinda?
BIBI : Cerita lama, Saijah.
SAIJAH : Cerita lama… apa maksud bibi?
BIBI : (tenang) ketika kepala desa mengambil kerbau Adinda…
SAIJAH : Ahhh!...
BIBI : Ibu si Adinda sakit karena susah hati. Adik si Adinda yang kecil meninggal dunia, karena tiada ibu yang menyusukan, dan bapa si Adinda, yang takut dihukum karena tidak membayar pajak…
SAIJAH : Sudah, sudah!
BIBI : Bapa si Adinda berangkat menionggalkan Lebak. Adinda dibawanya dengan adik-adiknya.
SAIJAH : Kemana mereka pergi? (angin menyayat) Adinda, rumah rumah Adinda, bibi.
BIBI : (haru) di tanah rumah Adinda berdiri dulu, didirikan rumah baru.
SAIJAH : Dulu….
BIBI : Dulu apa?
SAIJAH : Lesung Adinda, lesung….
BIBI : Mengapa?
SAIJAH : Bibikah kawan Adinda menumbuk padi di kampung?
BIBI : Ya.
SAIJAH : Bisakah aku tahu dimana lesung Adinda?
(tak ada jawab)
(terdengar suara-s.e:
tiga kali dua belas bulan aku pergi, bulan ini jangan dihitung dan Adinda, tiap bulan baru terbit berilah tanda guritan dengan pisau di lesungmu, dan kalau kau telah menarik tiga kali dua belas bulan guritan, pada hari berikutnya aku akan menunggu di bawah pohon ketapang.
(suara perempuan: jika kau kembali, akupun menunggu di bawah pohon ketapang dekat hutan jati).
(suara semakin jelas, Saijah sejenak bingung)
BIBI : Saijah, Adinda sekeluarga telah pergi empat bulan yang lalu, dan lesung itu telah menjadi milik orang lain.
SAIJAH : (Menahan marah) bibi, katakanlah dengan hati yang pasti, kemana mereka pergi?
BIBI : Jauh sekali, nak. Lebih jauh dari penciuman patroli, yang selalu mencari-cari. Tapi Saijah, kesayangan desa Badur, marilah singgah ke pondok bibi dulu, Pak Lontah pasti gembira dan setuju. (Saijah mendekap dan mencium tangan bibi)
SAIJAH : Bibi yang baik hati. (lalu berdiri tegak) selama darah masih panas, selama derita menimpa Adinda dan kaumku… (tiba-tiba ketawa terbahak-bahak)
Pelan-pelan lampu padam
BABAK III
Dalam sebuah rumah gubug, menjelang senja, peralatan yang ada menunjukkan keadaan yang masih darurat, suasana hutan disekelilingnya membangunkan suasana tersendiri dalam rumah itu.
Spot light (silhouette)

ASS RESIDEN : Sudah saya katakana bahwa untuk sama sekali tidak menyampaikan berita-berita kecuali yang baik-baik kepada pemerintah, bisa jadi mentertawakan, sekiranya akibat semua ini tidak demikian menyedihkan.
Perbaikan apakah yang boleh diharapkan dari banyak kesalahan-kesalahan jika sebelumnya sudah ada maksud tertentu untuk membengkokkan segala-galanya dan memiuh berita-berita yang disampaikan kepada pemerintah…? Bukankah gas …(missing text)… Orang mengingkarinya, akhirnya berubah menjadi amarah, putus asa, mata gelap? Tidakkah di ujung jalan itu menunggu Jacquerie? Pemberontak rakyat? Dan dimanakah akan berada pejabat-pejabat itu yang sejak bertahun-tahun ganti-berganti, tanpa tiba pada pikiran bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi dari “kepuasan gubernur jenderal”, dimanakah mereka itu berada, penulis-penulis berita yang pengecut itu, yang menyilaukan mata pemerintah dengan kehongannya? Apakah mereka itu dahulu takut menuliskan kata yang berani di atas kertas, akan memanggul senjata dan mempertahankan negri jajahan untuk pemerintah Belanda? Apakah mereka itu akan mengembalikan kepada pemerintah Belanda harta benda yang diperlukan untuk memadamkan pemberontakan, mencegah revolusi? Apakah mereka akhirnya akan mengembalikan nyawa yang beribu-ribu orang yang jatuh menjadi korban karena kesalahannya?
Black out – fade in
Nampak Pak Entoh sedang duduk menikmati kopi, dan Adinda membersihkan ruangan.
PAK ENTOH : (sambil menghirup kopi) sebentar lagi mereka datang. Kau sediakan minum Adinda.
ADINDA : (berhenti menyapu) berapa orang pak?
PAK ENTOH : Pak Lontah, si Uniah, Pak Ansui, Abdul Isma dan adalagi beberapa orang akan dibawanya.
ADINDA : Makin banyak orang kemari, pak.
PAK ENTOH : Ya, siapa tahan di Lebak? Memang benar juga kata si Saijah dulu, seperti dia tahu apa yang akan terjadi (Adinda tunduk) mengapa kau diam Adinda? Masih tetap Saijah dalam hatimu? (Adinda masih tetap diam) Kalau Saijah kembali ke Badur…
ADINDA : Pasti dia kembali ke Badur. (tempo) dia akan menunggu di bawah pohon ketapang, tempat aku memberikan melati padanya. (seperti pada diri sendiri) tapi aku tidak datang, tiga kali dua belas guritan… aku Cuma mengguritkan tigapuluh dua baris.
PAK ENTOH : (Menggeleng kasihan) kalau Saijah kembali ke Badur, dia tidak akan tahan tinggal di Badur, dan akan mencari kita.
ADINDA : Tapi dia tidak akan tahu tempat kita.
PAK ENTOH : (Kesal) Dia sendiri tentu tidak, tapi, orang-orang Badur, yang tidak sanggup membayar pajak, yang kerbaunya dirampas, akan bersama-sama mengikuti jalan yang kita tempuh, di sini kita bisa berkumpul semua.
ADINDA : Kalau mereka tidak kedapatan oleh serdadu patroli.
PAK ENTOH : (Kesal) Sampai sekarang mereka belum tahu tempat persembunyian kita, entah kalau ada yang berpengkhianat
ADINDA : (Mengangguk – geram) bapa berangkat membawa aku dan adik-adik, tapi dia tidak ke Bogor, karena di situ dulu bapa Saijah dihajar dengan rotan, dia meninggalkan Bogor tidak dengan surat keterangan. Karena itui bapa tidak pergi ke Bogor, juga ke Krawang, ke Priangan atau ke sekitar Betawi. Kami dibawanya ke Cilangkahan, dekat laut. Di situlah kami bersembunyi, menunggu kawan-kawan lain, yang kerbaunya telah dirampas oleh Wedana Parang Kujang. Beserta kawan-kawan lain ketakutan dihukum karena tidak sanggup membayar pajak, sampai kemari… (tunduk terharu) mudah-mudahan saja mereka bertiga selamat, sebab kepungan mereka jarang lolos. (sejenak diam) Bibi tidak dengar kabar Saijah di Badur?
BIBI : Ya Adinda, Saijah telah datang di Badur.
ADINDA : Bibi pernah melihatnya?
BIBI : (ragu) Ya… ya Adinda
ADINDA : Di mana bi?
BIBI : Dia mencari anakku, Adinda.
ADINDA : Tapi aku tidak ada.
BIBI : Dia minta cari lesungmu.
ADINDA : Lesungku, … dia ada pada siti, bi
BIBI : (Mengangguk) Ya.
ADINDA : Ada bibi tunjukkan (bibi mengangguk) senangkah aku sudah, dia tahu aku tetap setia padanya (diam sejenak) apa lagi bi?
BIBI : (Sejenak tak menjawab) Adinda…
ADINDA : Ya, bi.
BIBI : Kau jangan terkejut, Adinda.
ADINDA : Mengapa?
BIBI : Dia kembali ke Badur, Adinda tidak ada. Saijah tinggal bersama kami.. tapi…
ADINDA : Tapia pa, bi?
BIBI : Saijah seperti gila mula-mula
ADINDA : (Tidak percaya) Saijah gila?
BIBI : Saijah tidak gila, tapi dia sangat bengung seperti orang gila. Tidak di sangkanya kekajaman terus berlaku di Badur, sehingga dia tak sampai ketemu dengan Adinda. Kami pelihara dia baik-baik mula-mula dia suka tertawa keras-keras, aneh. Tapi kemudian tidak lagi, Cuma saja malam-malam kawan-kawan selalu mendengarnya dia menyanyi.
(Adinda tunduk menahan air mata)
Penduduk di Badur mengumpulkan uang, membuat sedekah kepada buaya-buaya di Ciujung, semoga saijah sembuh, tapi nyatanya dia memang tidak gila benar, pada suatu malam ketika bulan terang, ditinggalkannya balai-balainya dan diam-diam dia keluar rumah menuju tempat rumah Adinda dulu. Banyak sekali sudah rumah yang rubuh. Tapi rupanya rumah Adinda dulu dikenalnya betul, ketika kami cari, kami dapati dia di atas tumpukan sampah, tangannya memegang segumpal abu bekas balai-balaimu dan abu itu dibawanya kebibirnya, tiada dimakannya, tapi dia bernafas, menghirupnya… (tunduk – Adinda terus menatap bibi mengangkat mukanya lagi) waktu sampai ke rumah lagi, kami diberinya segumpal uang.
ADINDA : Tidak ada apa-apanya bi?
BIBI : Ada, katanya: belikanlah kerbau dengan uang ini, penuhilah permintaanku, sebagai permintaan seorang anak yang sudah tak punya orang tua lagi. Inilah baktiku pada orang tua. Itulah katanya. Esoknya Saijah tidak ada lagi di Badur.
ADINDA : (Meneteskan air mata) dan bibi belikan kerbau?
BIBI : Benar, gembira kami ada kerbau lagi, tapi belum lama gembira…
ADINDA : (Geram) Kerbau itu di rampas Kanjeng Bupati?
BIBI : (Sedih) Ya.
ADINDA : Cerita lama lagi.
BIBI : Tapi Kanjeng Bupati sekarang bukan yang dulu lagi, Adinda.
ADINDA : Apakah artinya ganti penguasa, kalau keduanya menjalankan pemerasan, Tapi bi, apakah Saijah ada rencana menuju kemari?
BIBI : Bibi tidak tahu, Adinda. Saijah pergi tidak meninggalkan pesan kepada siapapun. Pemuda seperti dia sangat lembut hatinya, dia lebih kenal makna cinta daripada kita, karena cintanya indah sekali, lebih indah dari bulan purnama.
ADINDA : Hatikupun percaya, bi. Kalau cintanya tak pernah pudar, walau dilesungku hanya ada tiga puluh dua guritan (Pak Entoh masuk)
ADINDA : Mana pok Lontah, bapak?
PAK ENTOH : Sedang melihat rombongan yang di belakang, beberapa orang sudah datang.
ADINDA : Tidak adakah mereka yang bertemu dengan Saijah?
PAK ENTOH : Beberapa orang pernah melihat dia di jalanan, dia tidak menuju kemari, tapi menuju ke tanah Lampung. Di sana terjadi pemberontakan rakyat. Sak hatiku, darah Saijah mendorongnya menyatukan diri dengan rakyat yang berontak disana, dan kemudian baru menuju kemari, ke tanah hitam ini, tapi mereka sudah mencium tempat kita ini. Kuharap saja, ketiga orang itu mampu memperdayakan hingga patroli menjauh dari sini. Kita harus segera meninggalkan tempat ini.
(Masuk Pak Lontah – terengah-engah)
PAK LONTAH : Entoh! Patroli Belanda sedang melanda kita, beberapa pengungsi yang menuju kemari terhenti karena tercegat patroli.
PAK ENTOH : Itu artinya kita dalam bahaya.
PAK LONTAH : Tergantung pada siasat pengungsi, apakah mereka dapat menyesatkan patroli.
PAK ENTOH : Bila patroli Belanda tiba juga di sini, jangan kita kedapatan berkumpul seperti ini, atau kita harus mengadakan perlawanan. Nasib tidak boleh terus-terusan disia-siakan.
(Dari jauh terdengar suara orang lari, teriakan dan tembakan. Semakin lama semakin dekat, kemudian masuk dua orang serdadu dengan senjata pedang dan senapan. Terjadi perkelahian Pak Lontah dan Pak Entoh terbunuh, demikian juga bibi dan Adinda yang mengadakan perlawanan – serdadu keluar)
(Saijah masuk dengan tergesa-gesa membawa golok terhunus)
SAIJAH : Adinda! Adinda! (sampai pada mayat Adinda) Adinda. Sudah kusangka kau ada di sini, tapi si jahanam itu lebih dulu kemari. Pasukannya kami pegat di jalan, kami serang tiba-tiba. (diam sebentar – dirangkulnya Adinda) kutunggu kau di bawah pohon ketapang, ini tanda mata dari kota (dikeluarkannya ikat pinggang berkilat) Adinda, tak sempat kulihat kau memakai. KErbau tak jadi kubeli karena kerbau akan dirampas Kanjeng Bupati (tempo) Bapa, begini jadinya, semua kita mendapat giliran, tanah dirampas kerbau diambil, pada akhirnya jiwa mereka yang mencabut, nasib kita tani tidak bisa dipisah!
ADINDA : (Lemah) Saijah…
SAIJAH : Adinda….
ADINDA : Kau ada melihat lesung berasku di Badur?
SAIJAH : Ya, Adinda.
ADINDA : Cuma tiga puluh dua guritan, tidak sampai tiga kali dan belas guritan, ketika bulan baru timbul. Tapi… aku tetap… setia padamu… semua… pada kita semua… (menghela nafay yang terakhir)
SAIJAH : Adinda! Kita setia semuanya, antara petani dengan petani tiada boleh ada penghianatan. Biarlah, Adinda… nasib kita tidak bisa dipisahkan, nasib tani satu, hati tani satu. Mereka boleh membunuh manusia, tapi tak kan mampu membunuh hati rakyat tani…
(Di luar ramai. Saijah meletakkan Adinda pelan-pelan berdiri tegak dengan, berdiri tegak dengan golok, serdadu 1&2 masuk terjadi perkelahian seorang serdadu mati, Saijah terbunuh)
SAIJAH : Padamu Adinda… padamu kaumku… tanahku… aku tetap setia.
( S.E : … dan agaknya doa sukur naik ke langit dari hati, hati orang-orang yang saleh di gereja hari minggu atau waktu sembahyang, ketika mendengar bahwa “Tuhan segala bala tentara” telah ikut pula berperang di bawah panji-panji Belanda…
“Tapi Tuhan, hiba melihat mala petaka demikian.
Hari itu menolak korban persembahan!)

SELESAI